Kisah "Ahli Fiqih" Mengemudi Taksi

- Mei 13, 2017

Bagaimana rasanya jika naik taksi namun sopirnya ahli tentang fiqih? Berikut adalah
artikel renyah dan berbobot, cerita syekh Salman Al-Audah yang berdialog dengan seorang supir taksi di sebuah negeri yang diterjemahkan oleh Faris Jihady.

Saat itu di negara tersebut sedang berlangsung pemilihan umum

SA (Salman Audah): pendapat kamu bagaimana?
ST (Supir Taksi): aku takkan memilih siapapun, dan takkan terlibat pemilu, karena demokrasi haram, dan tidak boleh berhukum dengan selain hukum Allah

SA: anggaplah pernyataanmu benar, sekarang kamu berada di dua pilihan yang pahit, bukankah bagian dari hikmah (sikap bijak) engkau meringankan keburukan dengan memilih yang mafsadatnya paling ringan.?

ST: ah, itu cuma permainan ga ada manfaat. Aku sudah mendalami ini sejak lama, dan pendapatku sudah final bahwa ini permainan yang diharamkan, dan dilarang berhukum dengan selain hukum Allah

SA: jadi apa yang kamu tunggu?
ST: aku menunggu pertolongan dari Allah

SA: siapa yang tak mampu terlibat dalam kontribusi sebagian (nashr juz'i), lebih tak mampu lagi terlibat dalam kontribusi keseluruhan (nashr kulliy). Dan Allah menjadikan pada segala hal ada sebabnya masing-masing. Ummatmu saat ini sedang dalam kondisi jauh dari apa yang kamu harapkan. Hukum Kehidupan bersifat pasti, tidak menoleransi siapapun mukmin maupun kafir.


SA: Kamu kuliah di mana? (tampak masih mahasiswa)
ST: Aku masih tingkat dua di salah satu kampus agama

SA: oh, tak apa. Kamu masih seorang penuntut ilmu yang masih muda.
Apakah kamu akan terus dengan pendapatmu itu?yang itu hanya merupakan perenungan sebentar atau hasil diskusi dengan kelompok anak muda sepertimu?meskipun situasi berlawanan dengan apa yang kehendaki?

Nak, kebenaran tidak diukur dengan orang perorang, anak muda sepertimu wajib memiliki kesiapan untuk kembali kepada kebenaran. Karena rujuk (kembali) kepada haq itu fadhilah (keutamaan).

SA: aku terdiam sebentar. Lalu aku bertanya: "Nak, bagaimana hubunganmu dengan Qur'an?"
ST: ia mendesah sejenak. "yah, (agak menyesal), akhir-akhir ini aku sudah beberapa lama tak membacanya". Kemudian ia membuka laci dashboardnya dan mengeluarkan mushaf: "inilah pertama kalinya aku membawa mushaf, tapi aku tak sempat membacanya"

SA: kenapa?
ST: capek, stress, cerai dengan istri, keluargaku tercerai berai, perlu uang

SA: aku pun mendoakan kebaikan baginya, dan menasehatinya bahwa Qur'an adalah obat bagi setiap penderitaan. "kalau kamu tak sempat membaca, paling tidak kamu bisa setel CD di mobil kamu. Nyalakan lantunan2 imam-imam besar".

SA: bagaimana shalatmu?
ST: Alhamdulillah, aku tetap shalat lima waktu duduk di atas kursi mobil ini, karena aku tak sempat turun sebab tekanan pekerjaan, dan nabi saw telah memberi panduan jika tak mampu shalat berdiri maka shalatlah duduk.

SA: nak, bagus sekali kamu sudah jadi ahli fiqih dalam hal yang terkait kondisimu. Tapi ini terkait dengan rukun kedua dalam Islam. Shalat.
Kamu sudah memberi fatwa untuk dirimu bahwa jika tak mampu shalat berdiri maka duduk. Kondisi ini tentu kamu lebih paham soal mampu atau tidaknya dirimu.

Namun, tidakkah terpikir di benakmu bahwa ada jutaan kamu muslimin di negerimu juga memerlukan fiqih istitho'ah (kemampuan) dalam urusan dunia dan agama mereka? Bahwa berpegang teguh dalam hal ideal tidaklah mudah? Dan urusan-urusan tersebut juga ada syarat kemampuan, sebagaimana berdiri untuk shalat disyaratkan mampu. Bukan hanya mampu fisik, tapi juga kondisi lapangan dan realita. Menutup mata dari kondisi bukanlah bagian dari hikmah (sikap bijak), bukan pula konsisten, tapi itu sikap yang berbahaya.

Mengapa kita merasa lemah dan memberi udzur pada diri kita, dalam urusan personal, yang paling mudharat maksimalny adalah kehilangan urusan ma'isyah (penghasilan)? Namun pada saat yang saat sama justru gampang sekali kita berfatwa tanpa pemikiran yang panjang dan pertimbangan kondisi jutaan muslimin yang mengalami mudharat berupa isolasi media, keamanan, ekonomi, dan mereka sangat memerlukan jalan keluar, yang bisa jadi dengan cara memilih calon tertentu dalam pemilu?

nb: terjemah bebas dan seperlunya dari artikel oleh Faris Jihady

Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search