Menghitung Jari-Jari Maut

- September 13, 2017
The Guardian
Ketika tentara militer Myanmar itu tiba, adik Kabir Ahmed, Zahir (55), juga turun ke sungai tapi di sisi yang lain. Putranya berlari keluar dari rumah mereka dengan penuh kepanikan.

"'Tinggalkan kami!' teriak putranya. Zahir melompat ke sungai dan berenang menuju tepian lain.

"Saya menunggu di hutan, mendengarkan tembakan militer berhenti.  Saya berada tepat di sebelah air. Anak saya telah pergi untuk menyelamatkan anggota keluarga lainnya." Ia mengatakan semua orang terbunuh.

Dengan jari-jarinya, Zahir menghitung siapa saja yang meninggal. Lirih dan pelan-pelan.

"Istri saya, Rabia Begum, 50 tahun, putra pertama saya, Hamid Hassan, 35; putrinya, Nyema, dua sampai tiga tahun usianya, dan anaknya, Rashid, usianya enam sampai tujuh bulan; anak kedua saya, Nour Kamel, 12 tahun; putra ketiga saya, Fayzul Kamel, 10 tahun; putra keempat saya, Ismail, tujuh tahun; putri sulung saya, Safura 25 tahun; suaminya, Azhir Hassan, 35 tahun; putri kedua saya, Sanzida, 14 tahun; Putri ketiga saya, Estafa, enam tahun; Putri keempat saya, Shahina Begum, lima tahun; anak perempuan saya yang keenam, Nour Shomi, dua sampai tig tahuna; Putri ketujuh saya, Hasina, berumur enam bulan.

"Saya menunggu hingga lima jam dan kemudian saya pergi," kata petani di Tula Toli itu seperti dilansir The Guardian. [Paramuda/BersamaDakwah]
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search