UIN Yogyakarta Larang Pengenaan Pakaian Ala Arab

- Oktober 13, 2017


Pihak Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta melarang pengenaan Pakaian ala Arab di lingkungan kampus. Tujuannya, guna mereduksi kebiasaan mengkafirkan karena perbedaan budaya.

Hal tersebut dikatakan oleh Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Dr. Waryono Abdul Ghafur.

"Saya melarang keras mahasiswi memakai cadar. Saya sampaikan, kita ini hidup di Indonesia, pakailah pakaian normal Indonesia," kata dia dalam pembukaan kegiatan Dialog Pelibatan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Birokrasi Kampus dalam Pencegahan Terorisme di kampus UIN Kalijaga, Rabu (11/10).

Waryono mengatakan, inti dari berpakaian adalah menutup aurat. Tidak memakai cadar ditegaskannya tidak melanggar aturan agama Islam. "Makanya jangan mengkafirkan orang yang tidak berpakain ala Arab," tambahnya tegas.

Larangan mengenakan cadar di kampus UIN Kalijaga juga diterapkan karena adanya potensi menimbulkan perselisihan antarmahasiswa dan dengan pihak lain di lingkungan kampus.

"Memakai cadar itu tidak adil. Dia bisa melihat dan mengenali wajah kita, tapi kita tidak bisa melihatnya. Kalau dibiarkan orang-orang akan saling curiga," tandas Waryono.

Terkait kegiatan Dialog Pelibatan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Birokrasi Kampus dalam Pencegahan Terorisme, Waryono menegaskan pihaknya sangat mendukung pelaksanaannya.

Mahasiswa sebagai generasi penerus harus diberikan pembekalan bahaya terorisme sejak dini, agar dalam dakwahnya mampu bermuatan pencegahan terorisme.

Guru Besar UIN Sumatera Utara, Prof, Dr. Syahrin Harahap, M.A., menjelaskan, pentingnya anggota LDK untuk memperbaiki dirinya terlebih dahulu sebelum terlibat dalam dakwah mengajak masyarakat berubah.

"Saya menyebutnya inner capacity. Perbaiki, tingkatkan kapasitas kalian terlebih dahulu, baru berdakwah mengajak masyarakat ke kebaikan," ujarnya.

Syahrin juga mengingatkan, dalam meningkatkan kapasitas mahasiswa anggota LDK harus belajar kepada guru yang memahami agama dengan baik dan benar, bukan yang setengah-setengah atau melalui buku dan media sosial semata.

"Satu lagi, guru agama yang baik adalah yang literaturnya merujuk pada kedamaian, karena inti dari agama adalah mengajak menuju perdamaian," tutupnya seperti dilansir Rakyat Merdeka. [BersamaDakwah]
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search