Freeport Belum Resmi di Tangan RI, Ekonom Ini Menguak Faktanya

- Juli 14, 2018
Tempo

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Drajad Wibowo menguak soal kesepakatan antara PT Indonesia Asahan Alumunium dan Freeport-McMoran Inc (FCX) yang dikabarkan secara resmi telah menandatangani Head of Agreement atau Penandatanganan Pokok-Pokok Kesepakatan Divestasi Saham PT Freeport Indonesia.

Ia menilai ada beberapa fakta yang bisa dilihat bahwa negosiasi RI dan Freeport belum selesai.   

Pertama, kata Drajad, apa yang sudah disepakati lebih pada soal harga dari tiga pihak yaitu Inalum, Freeport-McMoRan Inc dan Rio Tinto sepakat pada harga US$3,85 miliar atau sekitar Rp55 triliun.

Ini, menurutnya, adalah harga bagi pelepasan hak partisipasi Rio Tinto, plus saham FCX di FI. Rio Tinto sendiri terlibat dalam negosiasi karena berjoint venture dengan FCX, di mana hingga 2021 berhak atas 40 persen dari produksi di atas level tertentu dan 40 persen dari semua produksi sejak 2022.

"Gampangnya, meskipun FCX pemilik mayoritas FI, tapi 40 persen produksinya sudah diijonkan ke Rio Tinto. Jadi selain saham FCX di FI, Indonesia juga harus membeli hak ijon ini," ujarnya melalui keterangan tertulis, Jumat 13 Juli 2018.

Kedua menurut Drajat adalah Freeport belum direbut kembali dan transaksi ini masih jauh dari tuntas. Karena, pihak FCX dan Rio Tinto menyebut, masih ada isu-isu besar yang belum disepakati.

Isu besar itu lanjut dia, yaitu hak jangka panjang FCX di Freeport Indonesia (FI) hingga 2041, butir-butir yang menjamin FCX tetap memegang kontrol operasional atas FI meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas, dan kesepakatan isu lingkungan hidup, termasuk limbah tailing.

Fakta ketiga, tercapainya kesepakatan harga saat ini, diduga bahwa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) FI habis pada 4 Juli 2018 dan melalui revisi SK Nomor 413K/30/MEM/2017, IUPK diperpanjang hingga 31 Juli 2018.

Drajat mengungkapkan terkait fakta harga FI mahal atau tidak dirinya tidak bisa menjawab, sebab sejak lama Rio Tinto pasang harga di US$3,5 miliar.

Sehingga, kata dia, bisa dilihat perbandingannya dengan apa yang sudah dikerjakan sebelumnya saat mengambil Inalum dari Jepang. Dimana saat harga tawar dan pembelian akhirnya membuat Jepang takluk.

"NAA (Nippon Asahan Aluminium) ngotot dengan harga US$626 juta. Tapi pemerintah ngotot US$558 juta. Jadi ada selisih US$ 68juta. Jepang akhirnya takluk. Dan sekarang memang sulit kalahkan koalisi AS, Inggris dan Australia," ungkapnya seperti dilansir Viva.
 
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search