Seutas Kisah Ibu "Penyala Semprong Bambu" yang Menguras Airmata

- Desember 22, 2016
sonofmountmalang.wordpress

Ibu. Satu kata yang menyiratkan berjuta makna. Tentang kasih sayang, tentang pengorbanan, tentang masakan yang hmm..leker dan segala hal tentang kelembutan. Bahkan Rasulullah SAW mengulang hingga tiga kali; ibumu, ibumu dan ibumu. 

Hari ini, 22 Desember, diperingati sebagai Hari Ibu. Banyak yang berbagi cerita atau mengekspersikan rasa cinta tentang ibu, baik ibu yang masih hidup atau yang telah mendahului kita. Di alam sana. 

Muktia Farid, seorang ibu rumah tangga yang juga berprofesi sebagai pendidik, juga memiliki rajutan kasih sayang mengenai ibunya yang telah tiada. 

***

Bicara tentang ibu, adalah tentang kegigihan dan komitmen. Putri seorang pengusaha batik yang sangat berjaya waktu itu, berani memutuskan menikah dengan seorang lelaki biasa, lalu menjalani hidup sangat sederhana. Dari seorang anak yang kebutuhannya banyak dilayani berderet pembantu, lalu melakukan semuanya sendiri, dalam kesederhanaan (atau mungkin kekurangan). Dari rumah megah bedinding kokoh dengan kamar-kamar nan luas, beralih ke rumah kecil berlantai tanah berdinding bambu. Ibu tanpa canggung membantu suami dengan berjualan batik ke luar kota tiap minggu, juga menerima aneka penganan ini itu. Ibu pernah luka tersiram minyak panas, saat ingin menggorengkan gebleg (makanan khas di kampungku yang terbuat dari pati) yang meledak di atas penggorengan. Ibu sakit jantung cukup lama, tapi hampir tak pernah kudengar keluhan dari lisannya. Meski harus keluar masuk rumah sakit. Meski harus duduk di kursi roda. Hingga ajalnya.

Ibu yang mengajarkanku menyalakan api dari tungku, dengan menjaga nyalanya lewat semprong bambu. Kata ibu waktu itu, “Kamu harus bisa melakukan ini. Kita nggak tahu nanti suami kamu siapa dan seperti apa, bisa mencukupi kebutuhanmu dengan mudah atau tidak”. Mungkin, beliau belajar dari pengalamannya sendiri. Ibu yang mengajarkanku membedakan antara jahe dan kencur, saat aku ingin membuat wedang jahe ternyata salah ambil menjadi wedang kencur. Ibu yang saat aku kecil mengajarkanku cara mengiris bawang merah, yang kupelajari dengan susah payah karena membuat mataku menangis terkena airnya. Ibu yang saat aku kecil mengajarkanku cara memarut kelapa, yang awalnya sempat membuat jari-jariku terluka. 

Ibu pula yang mengajarkanku menambal baju, dengan jahitan tangan dari tusuk jelujur, sum, hingga tisik. Juga mengajarkanku menyulam baju, dengan bantuan alat bundar dari kayu, ‘midangan’  kami menyebutnya. Ibu juga yang mengajarkanku menjalankan mesin jahit dengan kaki, yang pertama kali kugerakkan justru mundur maju. 

Ibu yang mengajarkanku cara menyelesaikan soal matematika akar pangkat, saat aku SD, saat kakak-kakak tak punya cara yang jitu untuk menjelaskan. Ibu yang bahkan meminjamkan buku hayati dan zoology jaman sekolahnya, saat aku merasa pening dengan materi taksonomi tumbuhan dan hewan yang kuterima di pealajarn biologi saat SMA. Dan ternyata buku jaman belanda milik ibu jauh lebih mudah dapat kucerna. 


Ibu yang setiap hari selalu membuat menu bervariasi, dengan minimal 3 jenis menu: sayur berkuah, sayur tak berkuah, dan lauk penuh gizi. Ibu yang sering menyimpankan makanan kesukaanku secara khusus di lemari, untuk temanku belajar di malam hari. Ibu yang mau bersusah payah membuatkanku beberapa baju panjang, memilihkan kainnya, mencarikan model yang sesuai, dan menjahitnya, saat di SMA aku memutuskan untuk menutupi aurat tubuhku dengan baju panjang dan jilbab. Ibu, yang mengajarkan banyak hal, skola materna, sekolah pertama yang selalu terkenang selama hidupku.

Kini, aku rindu baju buatan ibu, dengan jahitan cinta di tiap sisinya. Aku rindu masakan ibu, dengan bumbu sayang di tiap sajiannya. Aku rindu. Bagimu ibu, Setiap hari adalah hari ibu. Setiap waktu adalah doa untukmu: Allahummaghfirlaha warhamha wa’afihi wa’fuanha.

Kini, setiap aku merindu, syahdu rasanya mendengarkan lagu merdu ‘Sejagat kasih Ibu’
.....kasihilah dia disana, di dalam kesendiriannya / lapangkanlah alam kuburnya, terangilah dengan cahya-Mu / duhai Rabbi, ampunkan dia /sejahterakan dengan nikmat-Mu / yang tak pudar ditelan masa, ijinkanlah aku meminta.

22 desember 2013
#mengenang ibu: Hj. Faridah Maosoel

[Paramuda/BersamaDakwah]
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search