Masyarakat sebaiknya memahami kandungan kitab suci Al Quran tidak kitab yang sudah diterjemahkan. Hal tersebut dikatakan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatuth Tholibin Rembang, KH Ahmad Mustofa Bisri.
Untuk memahami Al-Quran, kata dia, tidak bisa hanya melalui penerjemahan kata per kata.
“Al-Quran itu tak bisa diterjemahkan. Apalagi diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang kosa katanya masih miskin,” kata Pejabat Rois Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2014-2015 itu dalam majalah Tempo edisi 16-22 Januari 2017
Bangunan kata antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia, lanjut dia, tidaklah sama. Al-Quran yang diturunkan Allah SWT di Arab mengandung banyak nuansa sastrawi. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, nuansa sastrawi itu akan hilang.
Ia mencontohkan orang Indonesia hanya memiliki kata “Zaidun berdiri”. Sedangkan bahasa Arab bisa menyatakan berbagai macam kata. Seperti zaidun qoimun, inna zaidan qoimun, qoma zaidun, yaqumu zaidun, zaidun qoma, zaidun yaqumu, inna zaidan laqoimun, inna zaidan yaqumu, kana zaidun qoimun, dan masih banyak sekali. Dalam bahasa Arab, katanya, kata-kata itu maknanya berbeda-beda. Sedangkan bagi orang Indonesia, semua itu maknanya hanya satu: zaidun berdiri.
“Padahal nuansa dan kandungan di dalam ayat suci Al-Quran itu banyak sekali,” kata Gus Mus yang beberapa waktu lalu menilai kasus Al-Maidah 51 yang melibatkan Ahok sarat dengan nuansa politis.
Jika ada orang bilang kembali ke Al-Quran, kata dia, maka jangan hanya dimaknai kembali ke Al-Quran terjemahan Kementerian Agama. Atau kalau kembali ke hadis jangan hanya dimaknai ke kumpulan mutiara-mutiara hadis. [Paramuda/BersamaDakwah]
Advertisement
EmoticonEmoticon