ILC |
"Kita mendalilkannya dari sisi IT. Yang kedua dari sisi saksi. Saksi itu menurut ketentuan acara pidana juga, yaitu harus melihat, mendengar, mengetahui, mengalami. Jadi ada interaksi pancaindra dengan peristiwa hukum itu, baru disebut saksi," kata Egi di acara Indonesia Lawyer Club, Selasa (6/6/2017).
Saksi ahli itu, kata dia, pendapat. Itu pun bisa dibantah, fotonya pun ada bahwa foto itu editan. Kalau editan tidak bisa dijadikan barang bukti. Karena barang bukti yang didapat dengan melawan hukum itu batal secara hukum. Itu tidak bisa. Bakal ditolak juga di pengadilan juga.
"Tolong Pak Argo yang terhormat," katanya kepada Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono, "Bagaimana chattingan itu karena kami melihat itu palsu, direkayasa. WA itu dibuat tidak mungkin disadap! Dan kalau pun itu hasil dari sadap, tidak boleh disadap. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 20 tahun 2016. Jadi dalam konteks kita jika dilanjutkan, mau ngapain ke pengadilan?! Orang datanya nggak benar!"
"Ada satu lagi yang perlu ditegaskan di sini, dari peraturan Kapolri nomor 14 tahun 2012 pasal 69-71. Itu menjelaskan tahapan tentang gelar perkara. Ada gelar perkara awal, ada gelar perkara pertengahan, ada gelar perkara akhir. Pernyataannya, gelar perkara buat kita mana?" kata Egi lagi.
Seketika Argo Yuwono tertunduk malu.
Ada satu lagi, kata Egi, pasal 71 ayat 1 gelar perkara khusus. Kenapa harus khusus? Ada dua hal penting penjelasannya. Satu, adanya komplain dari penasihat hukum, kita sebagai lawyernya atau keluarganya. Boleh. Harus dilakukan gelar perkara khusus. Dan juga ada rekomendasi tertulis dari Presiden/Mendagri/Gubernur. Jadi, tidak ada istilah intervensi kalau presiden mau memerintahkan. Ini kewenangannya dari segi hukum yang mengatakan rekomendasi tertulis presiden.
"Nah, kita meminta kalau benar seperti yang diadakan, mengapa tidak ada gelar perkara khusus?" Egi mempertanyakan. [Paramuda/BersamaDakwah]
Advertisement
EmoticonEmoticon