Indopos |
Laboratorium merupakan rumah kedua bagi Dr Imam Tazi MSi. Totalitas dalam meneliti mengantarkannya pada karya yang luar biasa. Karya itu bernama E-Tongue dan E-Nose. Penelitiannya ini sangat bermanfaat bagi orang yang ragu akan kehalalan makanan.
Di siang yang sibuk itu, ia menjelaskan panjang lebar dua alat yang menjadi andalan laboratoriumnya selama dua jam.
Alat tersebut adalah E-Tongue dan E-Nose. Kedua alat ini diciptakan karena ide dasar betapa sulitnya kaum muslim menguji daging yang halal dan haram. ”Menggunakan robotik, E-Tongue ini bisa membedakan dengan mudah,” ucap Imam di Lab Sensori Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek) di Gedung B.J. Habibie UIN Maliki, Malang, Jawa Timur, Selasa (17/4) lalu.
E-Tongue merupakan alat yang diciptakan dan menjadi yang pertama di Indonesia. Diciptakan sejak 2011, alat ini dikembangkan hingga ke Portugal. Kini, E-Tongue sudah bisa membedakan daging babi dan sapi dengan akurat. ”Kalau E-Nose ini yang kedua setelah Universitas Gadjah Mada (UGM). Tapi berbeda tujuan penciptaannya,” jelas pria yang menjabat sebagai wakil dekan Fakultas Saintek itu.
Imam melanjutkan pembicaraan dengan bahasa dan kalimat yang mudah dimengerti orang awam.”Prinsip kerja alat ini sama dengan lidah manusia,” tuturnya seperti dilansir Indopos.
Ia menganalogikan cara kerja E-Tongue seperti ketika seseorang kali pertama mencicipi jus alpukat. Ketika seseorang meminum jus alpukat untuk kali pertama, sensor pada lidahnya akan mengirim sinyal listrik ke otak dan mulai membuat pola. Untuk mengenali dengan jelas rasa alpukat, sering kali seseorang meneguk dua hingga lima kali. Ini membentuk pola di dalam otak dan secara cepat mengenali rasa alpukat. ”Suatu saat saya disuguhi jus alpukat dengan mata tertutup, karena saya sudah minum berulang kali jus alpukat. Saya tahu meskipun mata saya tertutup. Sederhananya seperti itu alat ini,” ujarnya.
Analogi ini sama dengan cara kerja E-Tongue. Ketika masuk ke dalam daging yang dijus dan diberi air, nanti akan mengantarkan sinyal listrik yang diproses di komputer dan membentuk pola tersendiri untuk membedakan daging babi dan sapi. Ciptaannya ini tentu semata-mata untuk mengetahui daging itu halal atau haram, bukan untuk menandingi sang Pencipta. ”Lidah ini sensoriknya ribuan, dan alat ini tidak akan bisa sampai ke situ. Intinya saya hanya membantu saja,” katanya.
”Sensor E-Tongue terdiri dari sensor elektrokimia. Ada 16 sensor elektro yang berbeda. Hidung terdiri dari 12 sensor gas yang berbeda,” jelasnyasambil menggambarkan sensor apa saja yang ada di penemuannya.
Di dalam penelitian, tidak ada waktu terukur untuk menguji sebuah alat. Begitu pula ketika membuat E-Tongue, tidak terasa sudah masuk dalam tahun keempat. ”Dan ini belum bisa dikatakan sangat berhasil, karena kami butuh berkali-kali uji coba dengan daging lain, untuk mengetahui daging yang kami tes halal atau tidak,” ujar pria yang menamatkan S-1 di Universitas Brawijaya ini.
Advertisement
EmoticonEmoticon