Kisah Mengharukan Mahasiswa UMY yang Selesaikan Kuliah dengan Gorengan

- Maret 16, 2017
Asnawi ketika wisuda  di samping Sportorium Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) (dok: GNFI)

Seorang pemuda lengkap dengan pakaian toganya tengah berjualan gorengan di samping Sportorium Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Dengan semangat pemuda itu membagikan gorengan kepada orang-orang di sekitarnya, di tengah keramaian mahasiswa dan wali mahasiswa yang datang mengikuti wisuda. Satpam, tukang parkir, orang tua/wali mahasiswa, datang berkerumum untuk mencicipi gorengannya. Pemandangan berbeda itu ditemui pada Wisuda Periode II UMY, Sabtu (11/2)

Tukang Gorengan itu bernama Asnawi, wisudawan yang juga mengikuti wisuda ketika itu. Mengapa ia memanggul gorengan? Ternyata Asnawi tengah memenuhi nazarnya untuk memakai toga sambil berjualan gorengan di hari kelulusannya.

“Saya pernah bernazar dulu, pokoknya kalau saya lulus saya akan pakai toga dengan membawa dagangan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa penjual gorengan juga bisa menyelesaikan kuliah, saya membayar kuliah dan membiayai hidup saya juga pakai ini,”ujarnya saat diwawancarai pada Selasa (14/2) seperti dilansir UMY.ac.id.

Mahasiswa asal Bangka ini berhasil meraih gelar Sarjana Ekonomi dan meraih IPK 3.39 lewat perjuangannya menjajakan gorengan. Pemuda murah senyum itu mengaku berjualan gorengan tidak mengganggu perkuliahannya. Tugas-tugas kuliah tetap dikerjakan di tengah kesibukannya berdagang.

“Tugas tetap dikerjakan, namun kalau harus meninggalkan berjualan ya saya tinggalkan,” ujar Awi, demikian ia akrab disapa.

Awi mengaku berjualan gorengan sejak tahun 2006. Ketika itu ia harus menanggalkan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke SMA. Pasca SMP, Awi harus ikut kedua orangtuanya merantau berjualan gorengan. Selama lebih kurang empat tahun. Ia berpindah-pindah dan jauh dari kampung. Selama empat tahun itu juga, dia menahan keinginannya untuk melanjutkan sekolah.

Bagi seorang anak yang pernah bercita-cita untuk menjadi presiden ini memang tidak mudah, akan tetapi rupanya tak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya. Awi terbersit memendam sejenak cita-citanya.


Pada akhirnya tahun 2009 kesempatan itu datang. Awi bisa melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMA, walau umur mungkin sudah bukan selayaknya baru menduduki bangku SMA tapi tetap ia syukuri dan jalani. Bahkan pada tahun 2010, saat kenaikan kelas XI SMA, ia dipercaya sekolahnya untuk mengikuti pogram pertukaran pelajar ke Yogyakarta. Dari sanalah kemudian keberuntungan pendidikannya mulai terlihat.

“Saya mulai bercita-cita untuk kuliah di Yogyakarta. Waktu itu saya mengikuti program pertukaran pelajar dan ditempatkan di SMKN 7 Yogyakarta. Mulai dari situ saya menabung untuk persiapan awal-awal kuliah,”tandasnya.

Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Yogyakarta, rupanya disambut baik oleh orang-orang yang sangat disayangnya. Kedua orang tuanya dan dua saudaranya. Dari orang tuanya pula ia mendapat sifat pekerja keras dan pantang menyerah. Asnawi merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kedua saudara perempuannya juga berjualan untuk menghidupi dirinya masing-masing. Kakak perempuannya mempunyai usaha jahit, dan adik perempuannya saat ini juga berjualan baju dan kaos. Sementara orang tuanya tetap menjalankan usaha gorengan.

Sebagai sosok yang hidup di keluarga yang sangat berkecukupan, Awi termasuk orang yang prinsipil. “Selama saya masih bisa membiayai hidup sendiri, saya nggak mau dikatakan miskin. Saya masih mampu bekerja dan menghasilkan karya. Beberapa kali saya diminta untuk ikut program beasiswa dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu, namun bagi saya, saya masih mampu membiayai hidup saya. Jadi lebih baik beasiswa tersebut diserahkan pada mereka saja yang lebih tidak beruntung dari saya. Bagi saya, mereka lebih berhak," ujarnya.

Awi pun mengatur waktunya dengan detail agar kuliah dan jualan tidak terganggu. Setiap hari ia harus bangun pukul 04.00 pagi, kemudian melanjutkan shalat subuh. Usai shalat subuh, ia mulai menyiapkan bahan untuk berjualan. Awi menuju ke pasar membeli bahan-bahan untuk jualan dan meracik bumbunya. Pada pukul 06.45 ia sudah harus menyelesaikan pekerjaannya dan menyiapkan dagangannya sebelum berangkat kuliah. Kemudian sepulang kuliah pada pukul 12.30, dia mulai membuat adonan lalu menjajakannya dengan berkeliling kampung. Ia menghabiskan waktu berjualan di sekitar kampus hingga pukul 18.00. 

Ia melanjutkan kegiatannya dengan mengikuti kuliah malam, jika tak ada kuliah waktunya ia gunakan untuk belajar atau mengerjakan tugas. Tak hanya itu, sebelum tidur pun Awi sudah terbiasa menyempatkan diri untuk mengecek peralatan dagangannya. Awi menjalani aktivitasnya sebagai seorang mahasiswa sekaligus penjual gorengan ini setiap hari dan meliburkan diri di hari minggu untuk refreshing dan beristirahat.

Meski berkuliah sambil berjualan, Awi mengaku sempat menyerah. Karena ada kalanya dagangannya tidak laku. Semester 3 tepatnya ia sempat ingin menyerah. Waktu itu ia jualan belum begitu berhasil. 

"Saya dulu belum jualan gorengan, tapi jualan pempek dan mie ayam. Saya dinasihati orangtua kalau usaha saya seperti itu terus tidak mendapat apa-apa. Orang tua juga membiayai kuliah untuk saudara yang lain. Sementara masih ada kakek juga. Jadi uang harus dibagi-bagi untuk membiayai hidup,”jelasnya.

Beralih usaha dengan menjual gorengan, keuntungan yang didapatkan Awi setiap harinya bisa dikatakan cukup besar. Rata-rata ia mendapatkan keuntungan dari berjualan gorengan sebesar 300 ribu rupiah per hari. Dari hasil keuntungannya itulah Awi bisa membiayai hidup dan pendidikannya sendiri, tanpa membebani orangtua.

Hinaan dan cacian yang dilontarkan orang-orang sekitar juga pernah dirasakan oleh Asnawi. Namun, keinginannya menempuh pendidikan setinggi mungkin mengalahkan segala cacian dan hinaan. Semua itu ia lakukan dengan pembuktian. “Saya pernah dihina, saya ingat sekali perkataan salah satu tetangga saya,

“Kamu keahliannya hanya buat gorengan saja, nggak mungkin kamu bisa menyelesaikan pendidikan tinggi.” Waktu itu saya belum tau. Jadi saya ingin membuktikan pada orang-orang yang meremehkan saya, bahwa saya juga bisa menyelesaikan pendidikan tinggi. Bahkan dulu saat saya masuk SMA juga banyak yang meremehkan saya karena usia saya sudah 19 tahun,”ujarnya sambil berkaca-kaca.

Awi pun tetap tak patah arang lantas menyudahi perjuangannya. Cita-citanya masih tinggi. Ia ingin tetap melanjutkan pendidikannya hingga jenjang S2 ke luar negeri. Ia ingin pulang kampung sambil mencari pekerjaan di samping berjualan gorengan lagi dengan orang tua. 

"Saya juga ingin mengejar beasiswa S2 ke luar negeri. Untuk soal cita-cita profesi, saya lebih berminat di wirausaha, walau dulu waktu kecil ya cita-citanya jadi presiden,” harapnya. [Paramuda/BersamaDakwah]

Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search