Sejak kecil, ia suka sains. Sayangnya, kesukaannya pada sains menjadikannya tidak mempercayai Tuhan. Hingga usia 35 tahun, ia menjadi atheis.
Menjadi atheis, semakin lama ia semakin merasakan kegersangan hidup. Di satu sisi, ketika ia mendalami sains, ia mendapati alam ini begitu sempurna hingga ia berkesimpulan tidak mungkin alam semesta ini terjadi secara kebetulan. Pasti ada penciptanya, Tuhan. Dan Tuhan itu harus satu. Sebab jika lebih satu, pasti akan ada lebih dari satu kehendak dan membuat alam tidak seimbang.
Satu keyakinan telah menancap pada dirinya: beriman kepada Tuhan yang satu. Dan tidak mungkin ia bisa bertuhan kalau tidak beragama karena yang menunjukkan adanya Tuhan adalah agama.
Lantas, profesor itu pun mengkaji agama yang dekat dengan masyarakatnya; Krsiten. Ia mempelajari Bibel. Namun, ia ragu. Bagaimana mungkin ada banyak ayat yang bertentangan. Ia pun berkesimpulan, Bibel bukanlah kitab suci. Jika pun sebagiannya adalah firman Tuhan, sebagian lainnya pasti bukan.
Profesor itu juga mendengar Islam tapi sebagai agama yang buruk di Rusia. Media menggambarkannya sebagai agama kekerasan. Namun itu tak menghalanginya untuk mempelajari Islam dari sumbernya langsung; Al Quran.
Ketika mempelajari Al Quran, ia begitu terkesima. Ayat-ayatnya jelas dan tidak ada yang bertentangan. Yang lebih mengherankan, di dalam Al Quran ada fakta ilmiah yang baru diketahui pada abad 20.
“Tidak mungkin Al Quran ini dibuat oleh Muhammad,” simpulnya. Ia yang semula berpikiran bahwa Al Quran adalah buatan Muhammad yang cerdas, akhirnya berubah pikiran. Karena secerdas-cerdasnya manusia di abad 7, tak mungkin bisa mengungkapkan fakta ilmiah abad 20.
Ia kemudian meyakini bahwa Muhammad adalah utusan Tuhan, dan Tuhan itu adalah Allah. Maka ia pun bersyahadat.
Ketika menyampaikan di depan forum Chechnya, bagaimana perjalanan hidupnya hingga masuk Islam, banyak aplaus dan takbir membahana di ruang itu. Masya Allah... engkau sungguh beruntung wahai Saudaraku. [Ibnu K/Bersamadakwah]
Menjadi atheis, semakin lama ia semakin merasakan kegersangan hidup. Di satu sisi, ketika ia mendalami sains, ia mendapati alam ini begitu sempurna hingga ia berkesimpulan tidak mungkin alam semesta ini terjadi secara kebetulan. Pasti ada penciptanya, Tuhan. Dan Tuhan itu harus satu. Sebab jika lebih satu, pasti akan ada lebih dari satu kehendak dan membuat alam tidak seimbang.
Satu keyakinan telah menancap pada dirinya: beriman kepada Tuhan yang satu. Dan tidak mungkin ia bisa bertuhan kalau tidak beragama karena yang menunjukkan adanya Tuhan adalah agama.
Lantas, profesor itu pun mengkaji agama yang dekat dengan masyarakatnya; Krsiten. Ia mempelajari Bibel. Namun, ia ragu. Bagaimana mungkin ada banyak ayat yang bertentangan. Ia pun berkesimpulan, Bibel bukanlah kitab suci. Jika pun sebagiannya adalah firman Tuhan, sebagian lainnya pasti bukan.
Profesor itu juga mendengar Islam tapi sebagai agama yang buruk di Rusia. Media menggambarkannya sebagai agama kekerasan. Namun itu tak menghalanginya untuk mempelajari Islam dari sumbernya langsung; Al Quran.
Ketika mempelajari Al Quran, ia begitu terkesima. Ayat-ayatnya jelas dan tidak ada yang bertentangan. Yang lebih mengherankan, di dalam Al Quran ada fakta ilmiah yang baru diketahui pada abad 20.
“Tidak mungkin Al Quran ini dibuat oleh Muhammad,” simpulnya. Ia yang semula berpikiran bahwa Al Quran adalah buatan Muhammad yang cerdas, akhirnya berubah pikiran. Karena secerdas-cerdasnya manusia di abad 7, tak mungkin bisa mengungkapkan fakta ilmiah abad 20.
Ia kemudian meyakini bahwa Muhammad adalah utusan Tuhan, dan Tuhan itu adalah Allah. Maka ia pun bersyahadat.
Ketika menyampaikan di depan forum Chechnya, bagaimana perjalanan hidupnya hingga masuk Islam, banyak aplaus dan takbir membahana di ruang itu. Masya Allah... engkau sungguh beruntung wahai Saudaraku. [Ibnu K/Bersamadakwah]
Advertisement
EmoticonEmoticon