Nama Janes C. Simangunsong belakangan menjadi buah bibir oleh penghuni dunia maya. Produser sebuah program acara Metro TV ini kerap mengeluarkan kicauan-kicauan yang sarat dengan kebencian dan mendiskreditikan.
Janes pada akhirnya minta maaf. Ia mengaku khilaf dan mengatakan kicauan kacaunya itu dibuat pas masih duduk di bangku kuliah. Sekarang, ia menonaktifkan akun Twitternya. Kicauan-kicauannya telah dihapus dan kini tinggal foto-foto saja.
Akibat kicauannya, banyak publik yang geram dibuatnya. Ekspresi kegeraman mungkin juga kegelisahan ini lah yang membuat seorang editor buku, Rahmadiyanti Rusydi membuat surat untuk Janes.
Berikut bunyi surat Dee, begitu ia akrab disapa, untuk Janes.
---
Hai, Mbak Janes.
Saya ikut prihatin, akibat tweet-tweet (yang menurut Mbak ditulis 7 tahun lalu), teman, kantor, bahkan keluarga Mbak terkena dampaknya. Sudah di luar batas, kata Mbak. Padahal Mbak menulis tweet tsb saat masih kuliah, belum menjadi wartawan dan kebebasan berpendapat di media sosial masih sangat longgar.
Usia kuliah memang usia seru-serunya ya, Mbak. Masih muda, ekspresif, cenderung berani. Tapi usia kuliah sudah termasuk usia dewasa lho, Mbak. Usia yang—mestinya—sudah bisa membedakan mana yang patut dan tidak patut. Mana kritik, mana hujatan/celaan. Mana sikap berani, mana sikap pengecut. Usia yang—mestinya juga—sudah paham tentang kebebasan berpendapat. Tak ada yang benar-benar bebas di kolong langit ini.
Mbak Janes, terima kasih karena Mbak telah mengingatkan saya, juga banyak orang lainnya untuk bijak menggunakan jari kita. Untuk mengingat orang-orang di belakang kita (keluarga, kawan, rekan kerja) yang bisa terkena dampak dari perbuatan kita.
Saya sendiri masih suka ekspresif tuh, Mbak, ngetwit atau membuat status yang nyerempet atau dengan kalimat kurang sopan bagi sebagian orang. Sering juga tuh, Mbak, sudah menulis tweet/status panjang, kemudian saya hapus, karena mikir-mikir lagi: penting nggak sih tweet tsb? Akan ada yang tersinggung nggak? Ada yang nggak berkenan nggak? Saya juga suka membayangkan keluarga saya—ibu, adik, kakak misalnya, apa berkenan dengan tweet saya? Aduh, saya nggak kebayang bagaimana pendapat keluarga saya bila saya menulis tweet seperti yang ditulis Mbak. Ibu saya pasti sudah bilang gini, “Mending mama masukin lagi kamu ke perut!”
Oh ya, saat mau posting saya juga suka teringat anak-anak teman dan sahabat saya yang ada di contact saya. Khawatir kalau postingan saya tersebut tidak patut dibaca mereka.
Tapi ya sudahlah ya, Mbak, nasi sudah menjadi bubur, buburnya sudah basi. Mbak Janes juga sudah minta maaf dan berjanji mengoreksi diri, untuk hidup lebih baik. Kalaupun ada yang menuntut Mbak dengan UU ITE, ya Mbak harus siap. Tidak playing victim dan membuat pernyataan bahwa tweet-tweet tsb telah dimanfaatkan untuk bullying dan hatred. Bisa balik lagi ke Mbak lho soal bullying dan hatred tsb.
Sekali lagi terima kasih, Mbak telah mengingatkan saya dan kita semua bahwa kita dapat menghapus twit/status kita, mengdeactivate akun kita, tapi kita tidak akan bisa menghapus rekaman apa yang kita lakukan (satu huruf pun!) dalam kitab amal kita yang akan dibuka di hari pengadilan akhir nanti (menurut agama saya).
Saya jadi ingat syair Pak Taufik Ismail yang dinyanyikan oleh alm Chrisye. Mungkin Mbak Janes juga pernah mendengar lagu ini. Kalau belum, saya kasi linknya.
Semoga kita dapat menyelami pesan dalam lagu ini. Ngeri ya, Mbak… di dunia kita bisa berkilah, tapi di hari akhir nanti mulut kita terkunci. Jari kita yang pernah mengetikkan kalimat-kalimat kotor, jahat, dan fitnah lah yang akan berbicara. Begitu juga anggota tubuh kita yang lain. Semoga tekad Mbak mengoreksi diri diterima Tuhan. Dan semoga saya dan kita semua benar-benar belajar dari kasus Mbak Janes.
Salam.
Rahmadiyanti Rusdi
[Paramuda/BersamaDakwah]
Advertisement
EmoticonEmoticon