Ketidakadilan di Tengah Serbuan Tenaga Kerja Asing

- Januari 26, 2017
Pemerintah selama akhir tahun 2016 lalu dibuat sibuk menjawab aneka pemberitaan soal masuknya 10 juta tenaga kerja asing di Indonesia. Berita cepat menyebar di media sosial. Angka 10 juta jadi perdebatan, pasalnya 10 juta orang itu harusnya wisatawan bukan tenaga kerja. Pemerintah geram, pidato Presiden diplintir. Pemerintah mencium ada pihak yang ingin mengangkat isu tenaga kerja untuk kepentingan politis. 

Setelah dilakukan penelusuran dan klarifikasi, memang berita 10 juta tenaga kerja itu salah tafsir alias false number. Namun, ada satu kebenaran yang tak mungkin ditutupi bahwa serbuan tenaga kerja asing terutama asal China memang benar-benar terjadi. Faktanya berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, ada peningkatan tenaga kerja asal China yang jumlahnya mencapai 21.271 orang sampai November 2016 atau meningkat 15% dibanding tahun 2012 lalu. Angka ini jauh diatas pekerja Jepang (12.490 orang), Korea Selatan (7.920 orang), India (4.602 orang) dan Malaysia (3.820 orang). Statistik tersebut baru memuat tenaga kerja yang legal, belum memasukkan tenaga kerja diluar kesepakatan kontrak (ilegal) termasuk overstayer (melebihi batas waktu izin visa kerja). 

Tingginya pertumbuhan tenaga kerja asing dari China berbanding lurus dengan banyaknya proyek yang sedang dikerjakan oleh China di Indonesia. Sepanjang Januari-September 2016, realisasi investasi China di Indonesia tumbuh 291% dibanding dengan periode yang sama tahun lalu. Secara kumulatif sepanjang 2011-2016 nilai komitmen investasi negeri tirai bambu itu telah mencapai USD 53,7 Miliar. Jumlah proyek yang terlaksana sebanyak 3.493 proyek. Dari segi pembiayaan berdasarkan data China Development Bank yang terbesar adalah pembiayaan proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. 

Disatu sisi, janji proyek infrastruktur akan menyerap tenaga kerja lokal hanya pepesan kosong. Tenaga kerja yang didatangkan dari China jadi pesaing bagi buruh konstruksi kasar dalam negeri. Persaingan jelas tak fair, apalagi syarat bahasa Indonesia sudah dihapus dari aturan menteri tenaga kerja. Kondisi ini jadi angin tak sedap karena pengangguran di Indonesia masih tinggi yaitu, 7 juta orang. Dominasi pengangguran ada pada lulusan SD, sementara pintu pekerjaan yang ada diserobot tenaga kerja asing. Jelas ketidakadilan menyeruak.

Belajar dari Afrika

Model pembangunan ala China yang berlandaskan pada kapitalisme-negara (state capitalism) cukup beresiko bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pelajaran dari proyek pembangunan China berkedok bantuan lunak pembangunan infrastruktur patut dijadikan renungan bagi Pemerintah Indonesia. Masuknya China ke negara yang diberikan bantuan selalu diikuti oleh peningkatan tenaga kerja asing. Contoh paling gamblang adalah Nigeria dengan total tenaga kerja dari China sebanyak 11.000 orang yang dipekerjakan untuk proyek jalur kereta api Lagos-Kano. Banyak alasan yang digunakan Pemerintah China salah satunya adalah keahlian teknis pekerja domestik masih rendah sehingga lebih mudah mendatangkan pekerja dari China. Hal ini tentu menimbulkan kecemburuan sosial yang teramat besar, terlebih angka pengangguran Nigeria mencapai 13,3% per triwulan II 2016.

Agresifitas Kawasan

Kondisi di Afrika sangat mungkin terjadi di Indonesia. Ada beberapa fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa Pemerintah China punya dua agenda besar di Indonesia. Pertama pemberian pinjaman dan bantuan pengerjaan proyek infrastruktur strategis termasuk pelabuhan, jembatan dan pembangkit listrik merupakan bagian dari agenda besar Maritime Silk Road atau Jalur Sutera Maritim yang terbentang mulai dari Eropa Tengah hingga Asia Tenggara. Target ambisius ini merupakan bentuk nyata dominasi ekonomi China dalam bidang perdagangan. 

Fakta kedua sifatnya permasalahan domestik yaitu tingginya angkatan kerja dan pengangguran di China. Saat China mengalami pertumbuhan ekonomi dobel digit diatas 10% dari 2003 hingga 2007 penyerapan tenaga kerja cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan majunya industri manufaktur dan gelombang outsourcing dari negara barat ke China. Namun, sejak gelombang penurunan ekspor mulai melanda China sejak dua tahun lalu, angka pengangguran meningkat pesat dari 4,2% di 2010 menjadi 4,7% di 2014. Dengan asumsi total angkatan kerja sebesar 806,4 juta orang di tahun 2014, maka jumlah pengangguran di China tercatat sebesar 37,9 juta orang. Melihat tren pengangguran yang meningkat sementara lapangan kerja yang tersedia tidak memenuhi, maka Pemerintah China berinisiatif untuk melakukan ‘ekspor’ tenaga kerja ke negara lain yang lemah dari sisi kekuatan politik tapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang bagus, salah satunya Indonesia. 

Kondisi tersebut bersambut dibawah Presiden Indonesia saat ini yang berorientasi pada pembangunan infrastruktur. China mulai mendominasi beberapa proyek infrastruktur yang sebelumnya dikuasai oleh Jepang, misalnya proyek transportasi kereta api cepat Jakarta-Bandung. China melalui China Development Bank (Bank Pembangunan China) juga gencar memberikan pinjaman dengan bunga dan syarat lunak terhadap bank-bank BUMN Indonesia. Terciptanya kondisi ketergantungan ini menjadi pintu masuk bagi ekspansi China dalam tenaga kerja.

Lubang Bebas Visa

Dengan dalih meningkatkan sektor pariwisata, Indonesia kemudian membuka bebas visa bagi 169 negara. Yang jadi pertanyaan perlukah bebas visa? Faktanya ongkos visa bagi turis asing yang datang ke Indonesia relatif murah karena sebagian besar turis berasal dari negara yang lebih maju dari sisi ekonomi, otomatis kemampuan daya beli (purchasing power) mereka tinggi. Tanpa adanya bebas visa pun turis akan datang dengan sendirinya asalkan infrastruktur pariwisatanya dibangun. Oleh karena itu sangat wajar timbul kecurigaan bebas visa banyak disalahgunakan pekerja ilegal berkedok turis. Dugaan ini terkonfirmasi dari tertangkapnya turis asal China yang menanam cabai di Bogor, atau 76 PSK asal China yang kena razia di malam tahun baru. 

Kenyataan penyalahgunaan bebas visa sejalan dengan pernyataan perwakilan Kedutaan Besar China di Indonesia yang menyebutkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi kontraktor asal China adalah tingginya tarif visa tenaga kerja Indonesia. Tarif visa pekerja yang mahal menimbulkan beban bagi kontraktor asing, sehingga wajar di lapangan banyak ditemukan pekerja China tanpa visa pekerja atau masuk dengan cara ilegal. 

Ancaman tenaga kerja asing yang menyalahgunakan bebas visa wisata oleh karena itu perlu ditindak tegas. Pengawasan bukan sekedar pada pintu masuk imigrasi utama melainkan perlu dilakukan evaluasi serta sidak di lokasi pengerjaan proyek asing, dalam hal ini kewenangan petugas imigrasi dan kementerian tenaga kerja. Jangan dibiarkan bom ketidakadilan bagi tenaga kerja lokal terus terjadi apalagi ekonomi sedang lesu. Oleh karena itu ketimbang pemerintah terus menerus menghindar dan meributkan angka 10 juta orang, lebih baik mengakui bahwa terjadi peningkatan tenaga kerja asing lalu sigap merumuskan penyelesaian masalah.

Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti INDEF (Institute for Development of Economics and Finance)
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search