Palestina, Bagaimana Bisa Kami Melupakanmu

- Desember 05, 2017
Business Insider


Oleh: Muhammad Fuad Nasar

Konflik dan kekerasan di bawah langit Palestina yang memperlihatkan arogansi kolonialis modern yaitu Israel masih berlangsung. Selama puluhan tahun sudah tidak terhitung korban manusia yang berjatuhan. Baru-baru ini, tindakan brutal aparat militer dan kepolisian Israel yang menutup Masjid Al-Aqsha dan menyerang warga sipil di area masjid telah menimbulkan gelombang solidaritas umat Islam seluruh dunia. Kantor Berita Al-Jazeramelaporkan, jutaan muslim di seluruh dunia melakukan aksi unjuk rasa serentak menentang blokade Israel terhadap masjid suci itu.

Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia diharapkan bisa melakukan tindakan nyata untuk membantu perjuangan Palestina. Menyikapi perkembangan terkini, pemerintah sebagaimana diberitakan media telah mendesak PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan OKI (Organisasi Kerjasama Islam) untuk mengambil langkah-langkah guna menghentikan tindakan kekerasan oleh aparat militer Israel di kompleks Masjid Al-Aqsa. Indonesia meminta Sekjen PBB agar segera melakukan sidang Dewan Keamanan PBB guna membahas krisis yang terjadi di Al-Aqhsa. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan sikap pemerintah yang mendesak Israel menghentikan kekerasan dan pembatasan beribadah di Masjid Al-Aqsha.

Dalam bentangan sejarah modern abad ke-20 konflik Palestina meletus pada 1967, dimana ketika itu pasukan militer Israel menyerang Mesir, Yordania, dan Syiria hingga merebut Gurun Sinai dan Jalur Gaza, dataran tinggi Golan, Tepi Barat, dan Yerusalem. Mulai saat itu semua kawasan Palestina jatuh ke tangan Zionis Israel. Pendudukan wilayah Palestina oleh zionis Yahudi/Israel dengan dukungan negara-negara sekutunya melukai hati umat Islam di seluruh dunia. Israel tidak pernah mengindahkan resolusi PBB. Konflik Palestina sebetulnya bukan perang agama dan bukan sekedar perebutan negara, tetapi memenuhi syarat disebut sebagai penjajahan oleh Yahudi Israel.

Israel sejak lama berencana hendak merobohkan Masjid Al-Aqsha, dan ingin mendirikan di tempat itu candi yang dinamakan Haikal Sulaiman. Di masa lalu bahkan mereka pernah melakukan penggalian-penggalian di sekitar dan di bawah Masjid Al-Aqsha dengan dalih mencari barang-barang purbakala.

Pihak Israel pernah membakar Masjid Al-Aqsha pada hari Kamis 21 Agustus 1969. Peristiwa pembakaran terhadap tempat suci yang merupakan kiblat pertama umat Islam, pada waktu itu spontan menimbulkan protes keras dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Indonesia. Yerusalem di Palestina adalah kota suci ketiga bagi umat Islam, setelah Mekkah dan Madinah. Prof. Dr. Hamka dalam Rapat Akbar Umat Islam se Jakarta Raya yang diadakan oleh Pusat Pimpinan Jihad Pembela Masjid Al-Aqsha selesai shalat Jumat 19 September 1969 di halaman Masjid Al-Furqan Jln. Kramat Raya 45 Jakarta menegaskan ”Barangsiapa jiwanya tidak menggetar karena Masjidil Aqsha dibakar, itu bukan umat Islam.”

Pembakaran Masjid Al-Aqsha oleh Israel menjadi latar belakang dan penyebab khusus terbentuknya OKI yang dahulu singkatan dari Organisasi Konferensi Islam. Saat itu Wakil Ketua DPA-RI K.H.M. Ilyas yang juga mantan Menteri Agama ditunjuk sebagai utusan pribadi Presiden Soeharto untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Islam (KTT) di Rabat pada 22 – 24 September 1969 yang membahas peristiwa pembakaran Masjid Al-Aqsha. K.H.M. Ilyas kepada wartawan menyatakan, “Pembakaran Masjidil Aqsha merupakan pembakaran semangat umat Islam yang menimbulkan tekad mereka untuk melanjutkan perjuangan dalam membela kesucian agama Islam. Masjidil Aqsha yang telah mengalami kebakaran harus diperbaiki dan yang berhak mengadakan perbaikan adalah umat Islam sendiri.”

“Kita tidak rela Masjid Al-Aqsha diperbaiki kembali dengan uang dan tangan kaum Yahudi.” tegas K.H.M. Ilyas dalam pidatonya selaku Ketua Delegasi Indonesia pada KTT Islam di Rabat tanggal 23 September 1969, yang didampingi antara lain oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Anwar Tjokroaminoto. Selanjutnya Pemerintah RI memberi sumbangan Rp 1.000.000 untuk Masjid Al-Aqsha. Sumbangan itu bukanlah yang pertama kali. Pada waktu masjid itu dibangun dan diperbaiki beberapa waktu sebelumnya, pemerintah Indonesia mengirim bantuan sebesar US 18.000. Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan di depan sidang DPR-GR tanggal 16 Agustus 1969 menegaskan bahwa dalam persoalan Timur Tengah ini, rakyat dan pemerintah Indonesia berdiri di pihak rakyat dan negara-negara Arab serta mengharapkan kekompakan di antara bangsa-bangsa Arab sendiri sehingga memudahkan kita dalam menyokong perjuangannya itu.

Motivasi agama memiliki peran esensial dalam menggalang dan memelihara solidaritas umat Islam dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina. Membela orang atau bangsa yang tertindas dan terzalimi di muka bumi adalah perintah ajaran Islam. Sesama orang beriman   –  sebagaimana  ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw dalam hadis riwayat Muslim – seperti satu tubuh, bila satu bagian tubuh mengalami sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya.

Pernyataan Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri RI dan Wakil Presiden Muktamar Al-Alam Al-Islami, ketika terjadinya pembakaran Masjid Al-Aqsha tahun 1969 patut dikenang dan direnungkan maknanya yang sangat dalam. Pak Natsir menegaskan bahwa Masjid Al-Aqsha adalah “tanah air rohaniahnya umat Islam” seluruh dunia. Masalah Palestina adalah soal perikemanusiaan yang universal. Masjidil Aqsha akan dijadikan satu daerah internasional, didukung Paus dari Vatikan (waktu itu), akan tetapi justru orang-orang Katholik sendiri yang ada di sana dari pemimpin-pemimpin Greek Orthodox dan Romse Katholik menentang internasionalisasi Masjidil Aqsha.

Mengutip uraian Pak Natsir dalam Majalah Kiblat, “Palestina adalah tempat sucinya orang-orang Islam dan orang-orang Nasrani. Dalam hal ini sebenarnya umat Islam dan umat Nasrani (Kristen) yang mengerti persoalannya, akan sama-sama merasakan sakit karena terancam tanah air rohaninya oleh orang-orang Zionis Yahudi yang mengotorinya. Apa yang dituju oleh Zionis Yahudi? Bukan semata-mata Masjidil Aqsha. Gerakan Zionisme sudah terlahir kira-kira 80 tahun yang lalu (diucapkan 1969, pen).  Mereka mempunyai cita-cita untuk mengadakan satu negara Israel antara sungai Nil dan sungai Euphrat. Sudah ada gambarnya dan petanya. Digambarkan di dinding Parlemen Israel, satu negara Israel yang membentang dari pinggir sungai Nil sampai ke pinggir sungai Euphrat termasuk Madinah dan Masjidil Haram. Jadi bukan semata-mata soal eksistensi yang hendak dipertahankan, walaupun mendapatkan tanah itu dengan rampasan. Mereka tidak mau meninggalkan daerah yang diperolehnya secara agresi dan kembali ke garis-garis demarkasi sebelum 5 Juni 1967 itu. Israel mempunyai satu konsep jangka panjang. Zionisme adalah satu gerakan internasional. Zionisme mempunyai bermacam-macam bidang perjuangan dan cara-cara perjuangan.”

Lebih lanjut –Pak Natsir mengatakan – “Satu rupiah yang dikirimkan ke sana atas nama umat Islam yang ada di Indonesia ini efek psikologisnya, efek mentalnya, bukan main hebatnya. Dalam ilmu politik, dunia ini tidak dapat lagi dipisahkan-pisahkan. Interdependen bahwa apa yang terjadi dalam jarak ribuan mil dari kita akan mengakibatkan kesulitan-kesulitan kita atau kebaikan bagi kita yang jauh dari tempat itu. Mari kita menyumbang sambil berdoa. Yang kita sumbang bukan mereka saja, tapi juga kita sumbang kekuatan dan keselamatan kita sendiri yang sesungguhnya berada di font juga.”

Sewaktu Muktamar Alam Islami di Damaskus (1965) dengan agenda pembicaraan masalah Israel yang dihadiri oleh negara-negara Islam di Afrika dan Asia, Mohammad Natsir selaku ketua sidang mengajukan pertanyaan, “Saudara Arab, ada tujuh negara Arab menghadapi satu Israel, kenapa Islam kalah? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Sayid Ramadhan, “Justru karena kami bertujuh dan Israel bersatu, maka kami kalah.”       

Salah satu penyebab utama kenapa konflik antara Arab Palestina dan Israel tak pernah selesai, adalah karena negara-negara Arab terpecah dan tidak bersatu. Di satu sisi, sejak dulu para pejuang Palestina lebih menyukai cara perang gerilya kecil-kecilan daripada jalan damai dan perundingan, sementara mereka tak punya kemampuan perang yang seimbang dengan pihak lawan. Para pejuang Palestina sendiri terbelah dalam berbagai kubu yang tidak selalu kompak. Di sisi lain, pihak Israel tidak menghendaki penyelesaian damai dan bermartabat serta tidak menghormati hukum internasional.

Pemimpin perjuangan pembebasan Palestina yaitu PLO (Palestine Liberation Organization)  yang namanya melegenda  hingga kini, Yasser Arafat, pada 1979 pernah mengatakan kepada sahabatnya Drs H. Lukman Harun (Pengurus PP Muhammadiyah) dari Indonesia, sebagaimana ditulis dalam buku Lukman Harun: Potret Dunia Islam (1985) bahwa perjuangan pembebasan Palestina sangat berat karena harus menghadapi Israel dan Amerika Serikat. Secara jujur Arafat mengakui ada kepala negara-negara Arab yang tidak senang dengan perjuangan Palestina.

Wilayah Palestina – ungkap Arafat – selain diduduki Israel, juga sebagian telah menjadi daerah dari negara Arab tertentu, sehingga pada waktu tertentu tidak tertutup kemungkinan terjadi bentrok antara pejuang Palestina dan negara Arab tersebut. Menjawab pertanyaan kapan akan berakhirnya perjuangan pembebasan Palestina, Yasser Arafat waktu itu mengatakan; terserah kepada Allah, mungkin 10, 20, 100 ataupun 1000 tahun. Pokoknya, rakyat Palestina akan berjuang terus dari satu generasi ke generasi lainnya sampai terwujudnya negara Palestina.

Dalam kaitan dengan perjuangan Palestina dan belum kompaknya negara-negara Arab, saya ingin mengutip apa yang ditulis oleh seorang pemuda Indonesia yang kini sedang menempuh pendidikan di Durham University Business School UK, Saudara Randi Swandaru, “Persaudaraan Islam yang begitu mulia kini secara substansi dan praktik telah dilakukan oleh negara-negara Eropa sehingga terciptalah persaudaraan Eropa dalam satu wadah Uni Eropa. Negara-negara Eropa telah berhasil mendahulukan kepentingan mereka bersama dan meredam egoisme negara-negara masing-masing sehingga kini mereka mampu membentuk parlemen eropa, konstitusi eropa, pakta pertahanan eropa, bahkan mata uang eropa.”

Indonesia sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai kewajiban moral dan politik untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi.  Sebagai manusia, kita semua dapat merasakan penderitaan bangsa Palestina yang dizhalimi, saban hari dibombardir negerinya dengan senjata dari darat dan udara, diporak-porandakan infrastruktur fisik dan kehidupan sosialnya oleh Israel serta direnggut ketenangan hidup dan masa depan anak-anak yang tidak berdosa oleh sebuah keserakahan dan arogansi kolonialisme modern.

Indonesia dan Palestina adalah dua sahabat. “Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu” demikian judul puisi sastrawan dan budayawan Taufiq Ismail.  Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti ditulis M. Zain Hassan, Lc, Lt, dalam bukunya Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, betapa besar artinya dukungan Mufti Besar Palestina Muhammad Amin Al-Husaini atas kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 sebelum negara-negara lain memberi dukungan dan pengakuan. Sikap bangsa Indonesia dari awal mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina terhadap agresi  Zionis Israel. Presiden Pertama RI Soekarno tahun 1962 menyatakan, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.”

Pray For Palestine. Free Palestine!


Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search