Dompet Dhuafa |
Praktisi lembaga zakat Dompet Dhuafa, Arif Haryono mempunyai pandangan yang menampik tanggapan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang mengatakan potensi zakat besar sekali hingga sampai Rp 270-an triliun.
Berikut catatan singkatnya soal permasalahan tersebut pada Kamis (8/2/2018):
"Jika memperhatikan narasi yang digunakan pemerintah setiap ada wacana pemotongan zakat penghasilan untuk ASN akan selalu diikuti oleh potensi zakat di Indonesia yang mencapai angka IDR 217 T.
Angka ini lalu senantiasa dibenturkan dengan data masih kecilnya pengumpulan dana melalui lembaga (BAZNAS dan LAZ) yang hanya di angka IDR 4-5 T per tahunnya. Karena masih kecil, lalu diambillah langkah mudah: potong gaji ASN!
Tak perlu jauh-jauh berpolemik persoalan apakah pemerintah sudah cukup akuntabel dalam mengelola dana keagamaan sebesar ini, tapi coba kita urai, sebenarnya bagaimana ujud sebenarnya zakat 217T ini....
Pertama, angka 217 T hasil riset tahun 2010 dengan menghitung PDB saat itu. maka 217 adalah angka yang fluktuatif. thus, makin baik PDB indonesia, maka angka ini tentu ngikut meroket - mohon maaf pak presiden, saya pinjam sebentar terma-nya
Kedua, ini yang terpenting, anda harus memahami bahwa angka 217 T bukanlah angka zakat rumah tangga. jadi bagaimana proporsi angka 217T sebenarnya?
217 T itu terdiri dari:
Zakat perusahaan, industri dan perbankan: IDR 129 T versus zakat rumah tangga: IDR 88 T
ASN sebagai bagian dari zakat rumah tangga menyimpan potensi pengumpulan zakat sebesar IDR 88T per tahunnya. lalu, apakah muslim indonesia malas membayar dana zakatnya?
Tidak juga. riset UIN Jakarta circa 2011 (mudah2an saya tidak salah tahun) misalnya jelas menyatakan bahwa tingkat kepatuhan muslim di Indonesia dalam membayar zakat lebih dari 95 persen.
Loh, bukannya jika begini dana zakat rumah tangga di Indonesia bisa mencapai angka IDR 83,6 T? tidak juga, kebanyakan muslim di Indonesia telah menunaikan zakatnya secara langsung ke mustahik, dititipkan ke masjid, mushalla, langgar dekat rumahnya, kepada kyai atau guru ngajinya di kampung, dan lain sebagainya.
Maka, poin kedua ini titik krusialnya. jika muslim di Indonesia 95 persennya sudah membayar zakat. lalu pemerintah melakukan 'pemaksaan' untuk membayarnya kepada lembaga-lembaga yang ada, bukankah ini kebijakan yang dipaksakan?
Mengapa ngoyo mengejar pengumpulan zakat rumah tangga yang sudah tertunaikan; sementara potensi zakat lainnya: perusahaan, industri pengolahan, industri akomodasi, BUMN, tabungan tidak dijadikan target?
Pemerintah dalam perspektif saya sedang salah memilih medan pertempuran. mengubah perilaku membayar zakat dari disalurkan secara individual kepada lembaga kredibel bukan dengan regulasi mekanisme pemotongan gaji, tapi dengan mengampanyekan kebaikan pembayaran zakat via lembaga.
Maka, jika ingin mengejar angka IDR 217 T, kejarlah zakat di perusahaan. peluangnya masih besar.....
Ayo, kerja... kerja.... kerja!"
[BersamaDakwah]
Advertisement
EmoticonEmoticon