Soesilo Toer yang kini hidup sebagai pemulung pemah menikmati gemerlapnya dunia. Kaya raya. Hidup enak. Pacarnya banyak. Kini, semua hilang tak berbekas.
Selembar kertas berukuran setengah folio itu tersimpan rapi di lemari. Sudah puluhan tahun. Si empunya, Soesilo Toer, tak ingat lagi kapan dia menaruhnya. Namun dia bisa memastikan kertas itu diperoleh pada 1972. Inilah aset yang paling berharga yang dimilikinya sekarang. Warna kertas itu masih asli. Kuning. Tak ada cacat sedikit pun. Juga tak ada bekas lipatan. Soesilo membungkusnya dengan plastik bersama 12 lembat kertas lainnya. Istrinya memasukkannya dalam kopor yang kemudian menyimpan di lemari pakaian.
Aset paling berharga itu berupa ijazah doktor (S3) ekonomi politik yang dikelularkan The Council of Moscow Institute of National Economy. Sebanyak 13 lembar lainnya adalah ijazah S2, transkrip nilai serta sertifikat lainnya diperoleh selama kuliah di Rusia 1967-1972. Semuanya menunjukkan bukti bahwa Soesilo Toer adalah ilmuwan bidang ekonomi.
Soesilo fasih berbahasa Rusia, baik lisan maupun tulisan. Bahkan dia menyebut dirinya diaglosia-- menguasai variasi bahasa dalam masyarakat. Selain Inggris, dia juga bisa berbahasa Jerman dan Belanda. "De Plicht van een Mans is de Mens te Zinj. Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia sesungguhnya," ungkapnya menyelipkan kata Multatuli dalam bahasa Belanda. Baginya Multatuli tidak hanya bagi Pram tapi bagi dia juga.
Tak banyak orang yang tahu kehebatan Soesilo. Maklumlah, adik Pramoedya Ananta Toer itu kini hidup sebagai pemulung di kota kelahirannya Blora, Jawa Tengah.
"Saya tahu kalau dia adik Pram yang sastrawan hebat itu. Tapi saya tak tahu kalau dia doktor," kata Endang, pemilik toko pakaian di Pasar Pitik Blora. Nyaris setiap hari Soesilo memulung sampah di depan tokonya.
Soesilo bangga menjadi pemulung. Itulah bagian dari manusia sesungguhnya. Menjadikan barang yang tidak bermanfaat menjadi bernilai. "Saya sejak kecil ngorek sampah. Di Rusia juga begitu. Sebab ngorek sampah sudah menjadi bagian dari hidup saya," tutur dari ayah Benee Santoso.
Sebelum belajar ke Rusia, Soes, panggilannya, empat belajar ekonomi di Universitas Indonesia (UI). Masuk tanpa tes. Sebab nilainya memuaskan. Matematika dan ekonomi mendapat nilai 10. Sedangkan Bahasa Inggris mendapat 8. Soesilo sémpat juga mengenyam pendidikan di B1 Ekonomi yang beralih menjadi IKIP di Setiabudi, Jakarta Selatan.
”Dekannya dulu Sumitro Djojohadikusumo, bapaknya Prabowo Subianto. Kalau dosen bahasa Inggris, adiknya Sumitro. Perempuan. Saya lupa namanya,” kenangnya.
Sayang, karena tidak mampu membayar kuliah di UI, Soes hanya bertahan setahun. Baginya biaya perkulihan cukup mahal. Sebanyak Rp 240. Padahal bisa dicicil tiga kali Karena tidak bisa membayar, dia pun kuliah di Akademi Keuangan Bogor. Di bawah Badan Pengawas Keuangan (BPK).
”Dulu memang tidak ada duit. Miskin. Uang pensiun bapak juga tidak ada. Akhirnya saya putuskan kuliah di Bogor, ” terang lelaki yang masih kuat bolak-balik Blora- Sleman menggunakan motor ini.
Setelah lulus, dia bekerja di perusahaan negara milik Belanda di Jakarta. Saat itu dia digaji paling tinggi. Posisinya cukup stategis. Sebagai wakil kepala klaim dan asuransi. Layaknya bos, pulang-pergi dijemput mobil. ”Padahal kerjanya ngarang.Lha nggak ada kerjaan,” katanya cekikan.
Nasibnya berubah ketika hubungan Indonesia-Belanda menegang. Pemerintah membentuk Batalyon Serbaguna Trikora. Kebetulan, Soes ingin mencoba ke Irian. Akhirnya dia bergabung jadi sukarelawan. Oleh Soebarto, Soes diberi pangkat Letnan.Jabatannya sebagai kepala perbekalan. Posisi itu langsung di bawah bimbingan Soeharto. [@paramuda/BersamaDakwah]
Disadur dari Harian Indopos, cetak Kamis (12/4/2018)
Advertisement
EmoticonEmoticon