Dulu Dukung Elgebete, Inilah yang Kini Dialami Starbucks

- Juni 22, 2018

Usai mengumumkan penutupan ratusan gerai, kedai kopi internasional Starbucks makin terseret dalam nestapa ritel. 

Paling tidak sebanyak 150 gerai Starbucks di seluruh Amerika Serikat mengalami kebangkrutan.

Pasca isu nelangsa berembus, saham Starbucks ikut terombang-ambing dan anjlok sedikitnya 10 persen pada Rabu (20/6/2018).

Penurunan hingga 10 persen tersebut merupakan rekor terburuk Starbucks dalam 52 pekan terakhir.

Kabar penutupan 150 gerai Starbucks memang mengejutkan sejumlah pihak, termasuk investor. Kabar seperti itu bukan hal jamak untuk peritel kondang seperti Starbucks.

Starbucks hanya menutup paling maksimal 50 toko setiap tahunnya.

Chief Executive Officer Starbucks Kevin Johnson mengatakan pihaknya perlu memulai transformasi radikal agar bisnis tak karam. "Performa bisnis kami tidak mencerminkan potensi terbaiknya. Ini sungguh tidak wajar," katanya.

Starbucks, kata dia, mesti dalam merangkul teknologi digital, misalnya dengan pemanfaatan data. Tak hanya menyesuaikan diri dengan tren digital, Starbucks juga mengubah racikan menunya. Peritel itu berniat menambah minuman lebih menyehatkan misalnya buah mangga.

Kevin turut berharap, insiden bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tak lagi terjadi di dalam tokonya. Peristiwa SARA oleh oknum karyawannya April lalu di Philadelphia dipandang Kevin ikut berkontribusi pada badai bisnis Starbucks saat ini.



Dulu Starbucks melalui pemimpin dan CEO-nya, Howard Schultz, secara terang-terangan telah memberikan dukungannya terhadap LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender).

Jaringan kedai kopi yang sudah memiliki gerai di Indonesia ini menyampaikan sikapnya yang terbuka bagi gerakan LGBT sebagai bentuk dukungan terhadap Mahkamah Agung AS yang secara resmi melegalkan pernikahan sesama jenis pada 2013 lalu.
 
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search