Mahathir, Erdogan, dan Pilpres Indonesia 2019

- Juni 25, 2018
TRT World
Sejujurnya, polarisasi antara dua kubu pasca Pilpres 2014 masih kuat hingga hari ini. Kedua belah pihak sama-sama gagal move on. Jadi tidak usah saling mengejek satu sama lain tidak bisa move on.



Dua Pemilu di Malaysia dan Turki pun dikaitkan dengan suksesi tanah air. Ketika Mahathir menang, kepedulian publik di tanah air pada isu luar negeri meningkat jauh sekali, tapi itu untuk dibawa kepada cita-cita politik masing-masing pihak.

Mahathir, bagi kelompok oposisi di Indonesia menjadi ilham bahwa sekuat apapun penguasa berusaha mempertahankan kekuasaannya, pasti tumbang jika rakyat bersatu menginginkan perubahan. Namun, di barisan incumbent buru-buru membantah bahwa kasus Malaysia tidak bisa diangkut ke Indonesia. Beda.

Iya, sebelum Pilpres Turki 24 Juni 2018, saya setuju sekali bahwa kasus kita dan Malaysia amat berbeda. Isu skandal 1MDB Datuk Najib tidak ada pada Jokowi. Di lain sisi, ketokohan Mahathir di Malaysia jauh lebih kuat dari Prabowo (simbol oposisi paling kuat di kita), sehingga barisan Pakatan Harapan percaya diri membuat lelaki berusia 92 tahun itu turun gunung lagi.

Sekarang, Pilpres Turki baru berlangsung, dan terbalik dari Malaysia, incumbent kembali menang. Tetapi, di sini uniknya, di tanah air tanggapan kedua kubu berbeda dengan ketika menanggapi kemenangan oposisi di Malaysia. Ada apa?

Itu urusan mereka yang gagal move on. Saya tidak. Tapi, pandangan pribadi saya berubah setelah Erdogan menang satu putaran ini, bahwa sebenarnya ada kesamaan pada terpilihnya Mahathir, Erdogan, dan pergantian 

Presiden 2019.

Pada apa persamaannya? Bukan pada oposisi akan menang atau petahana akan bertahan. Tetapi pada isu yang substansif. Pengaruh asing.

Isu ini amat kuat pada kedua pemenang, Mahathir dan Erdogan. Ini pula yang harusnya dikampanyekan sebagai isu utama bagi oposisi jika yakin dan dapat meyakinkan rakyat bahwa pemerintahan yang sekarang dianggap kurang mandiri dan amat pro pada asing. Sekali lagi, jika benar.

Diantara faktor penting yang berhasil menyatukan Anwar dan Mahathir pada Pemilu lalu adalah kepentingan pribumi. Semua orang tahu hal itu. Najib dipandang lembek dan tidak tegas. Bahkan Najibnomic dianggap membawa ekonomi Malaysia amat tergantung dengan ekonomi dunia.

Untuk Turki, lebih kasat mata. Isu kemandirian dibawa Erdogan sebagai isu utama. Tidak peduli ekonomi Turki sedang menurun pada tahun terakhir, rakyat Turki menemukan karisma negerinya pada karisma Erdogan. Ia dianggap sebagai simbol perlawanan pada Barat.

Erdogan bahkan oleh para pencelanya, diyakini telah membawa Turki lebih mandiri dari era sebelumnya pada tiga hal terpenting: ekonomi, kebijakan luar negeri, dan industri militer. Ini daya pikat Erdogan. AS dan Eropa tidak rahasia lagi mendukung siapapun yang ingin menantang Erdogan. Tokoh oposisi berganti-ganti. Hingga mereka menjadi lebih yakin pada Muharrem Ince akan sukses mengalahkan Erdogan dibanding tokoh oposisi sebelumnya.

Nyatanya gagal. Bahkan mungkin, dukungan Barat malah bisa jadi bumerang pada masyarakat Turki yang makin ingin melepas ketergantungan pada Barat. Entah di tanah air kita nanti.

Menghadapi 2019, kubu petahana harus meyakinkan rakyat bahwa mereka tidak sedang bergerak untuk kepentingan asing. Sedangkan oposisi, bisa gunakan tema kemandirian dengan elegan. Siapa yang kuat, mungkin akan menang. Kita tunggu 2019.

Faris BQ
Kandidat doktor Ilmu Politik dan HI Universitas Ankara Turki.



Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search