Ada dua peristiwa yang menarik perhatian publik, yaitu Aksi Super Damai 212 dan yang baru saja terjadi yakni peristiwa pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Natal di Gedung Sabuga, Bandung. Lalu bagaiman kita menyikapinya?
Mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah Government and International Affairs di Durham University, Ganjar Widhiyoga punya catatan sendiri perihal itu.
---
Setiap tahun, sekolah anak saya (dan sekolah-sekolah lain di UK) merayakan hari-hari besar Kristen seperti Paskah dan Natal. Edaran terbaru di foto adalah pengumuman tanggal Christmas Lunch dan pentas Nativity Assembly. Tahun kemarin saat Paskah, pentasnya tentang Ressurection.
Saya sih biasa saja ketika menerima edaran ini. Bagi saya itu wajar sekolah-sekolah di Inggris merayakan Natal dan Paskah karena memang mayoritas di sini beragama Kristen atau merasa dekat dengan nilai-nilai Kristiani. As the majority, it is within their rights to design common rules in the society.
Pengalaman tahun-tahun kemarin, saya selalu menyampaikan ke guru kalau anak saya tidak bisa ikut pentas keagamaannya karena kami punya perspektif yang berbeda dengan perspektif Kristen. Ketika Natal, misalnya, budaya Kristen menyatakan Yesus lahir di kandang (barn), Bunda Maryam ditemani Joseph. Di keyakinan Islam, Yesus lahir di bawah pohon kurma, berfokus pada heroisme Bunda Maryam melahirkan sendirian tanpa siapa pun. Kan ga matching?
Bagusnya, guru kemudian mengajak saya berdialog (lama heuy) dan akhirnya mengijinkan anak saya tidak ikut pentas. Dia duduk sendiri baca buku. Itu hak saya sebagai minoritas. It is within my rights to express my own religious beliefs.
Tapi hak ekspresi saya juga ada batasnya. Saya tidak kemudian meminta ada pentas Maulid Nabi atau Hijrah di sekolah, meski 60% siswa di sekolah anak saya beragama Islam. :)
Edit: ada juga Muslimin yang mengijinkan anaknya ikut pentas (lha itu, sekelasnya anak saya yang 60% Muslim ikut semua kecuali satu bocah, hahah). Ya itu pilihan mereka. Saya ga kemudian menuduh mereka kurang taat atau bagaimana. Mereka juga (setahu saya) tidak menuduh saya fundamental-ekstrimis-tidak ber-Bhinneka /eh.
Idealnya yang demikian pun terjadi di Indonesia. Bukan karena saya triple majority (Islam/Jawa/Laki-laki; wah manusia pilihan betul! /sarcasm /plakkk) tapi karena memang wajarnya di masyarakat begitu: mayoritas menentukan warna secara umum, minoritas memiliki hak untuk ada. Semua dihargai dan menghargai.
Penghalangan dan sindiran untuk 212 dan penghalangan untuk kegiatan Natal, bisa jadi sebenarnya dua masalah yang akarnya sama. Seharusnya, keduanya tidak perlu terjadi. Mayoritas ada hak, minoritas pun ada hak. Saling menghormati dan menjaga, kalau ada gesekan, kembali pada dialog dan hukum.
Kalau di Indonesia kondisinya belum sempurna, ya mari sabar perbaiki bersama. Goncangan di masyarakat pun terjadi di Barat sini, kok. Lihat Perancis yang melarang burkini di pantai. Lihat Jerman yang mau melarang burka dan niqab. Semua berproses, kawan, for better or worse.
Advertisement
EmoticonEmoticon