Noor Alam for the Guardian |
Sehari sebelum penyerangan itu, orang-orang dari desa sedang menyeberang sungai, Sungai Dual Toli. Berenang dengan sekuat tenaga untuk lari dari serbuan militer. Lebih dari 10 orang meninggal di sungai, begitu menurut Petam Ali (30), orang yang melindungi para pengungsi di rumah keluarganya. Mereka menyaksikan desanya dibakar dari seberang sungai.
Pada pukul 03.30 waktu setempat keesokan harinya, Ali mendengar suara tembakan tapi tidak yakin kemana arah tembakan itu tertuju.
"Aku tinggal di bagian utara desa dan militer itu menyeberang sungai lebih jauh ke utara dan mereka berduyun-duyun. Aku meninggalkan keluargaku sebentar untuk mengecek hutan dan barak tentara. Kami mengintai hingga pukul 8 pagi hingga para tentara itu bergerak, memakai pakaian hijau gelap dan mereka semua jalan kaki.
Aku mengajak keluargaku lari, kami buru-buru namun nenek kami terlalu tua untuk lari. Sesampainya di hutan, kami menyaksikan rumah kami dibakar. Peristiwa yang baru pertama kali terjadi di Tula Toli," tutur Ali kepada Guardian, 6 September 2017.
Rumah Ali, bangunan kayu yang terdiri delapan kamar itu ia bangun dengan tiga saudara laki-lakinya untuk 16 anggota keluarga besar. Atapnya dari daun jerami dan dedaunan.
"Para tentara itu menggunakan granat berpeluru roket dan mereka menembakkannya ke rumah-rumah Rohingya dengan tetap sasaran. Semua rumah terbakar. Di jalanan, aku melihat orang meninggal. Aku mengenali orang itu, namanya Abu Shama. Dia ditembak di dadanya. Usinya 85 tahun."
Di reruntuhan rumahnya, Ali menyaksikan neneknya yang meninggal dalam keadaan hangus dan dipenggal kepalanya. "Namanya Rukeya Banu. Ia berusia 75 tahun. Saat aku kembali ke hutan, aku menceritakan seluruh peristiwa memilukan itu kepada yang lain. Mereka pun menangis tersedu-sedu." kata distributor beras itu. [Paramuda/BersamaDakwah]
Advertisement
EmoticonEmoticon