Satu lagi karya film sutradara ternama Hanung Bramantyo yang sedang tayang di bioskop seluruh Indonesia. Film bergenre sejarah itu berjudul Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta.
Rupanya film Sultan Agung tersebut ada "keterlibatan" Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Eitt, tunggu dulu. Setidaknya hal tersebut terlihat dalam running text seusai film tayang. Bukan PKS secara keseluruhan, melainkan pencantuman arahan film salah satunya tertulis nama penulis kondang Salim A. Fillah dengan keterangan Sejarawan PKS.
Buku yang menjadi rujukan film salah satunya mengambil artikel Ustaz Salim A. Fillah dari Salimafillah.com.
Ustaz Salim sendiri menceritakan soal ajakan Hanung dan memberikan kritik terhadap film tersebut, melalui media sosialnya.
"Kaget juga ketika suatu hari Mas Hanung mengirim pesan pendek, "Kula badhe ijin, apakah berkenan asma Ustadz Salim dan kawan dimasukkan sebagai penasehat kesejarahan di film?"
.
Saya spontan menjawab, "Weh, lha punika, hehe. Mbokmenawi jangan, ampun rumiyin, Mas. Lha wong kula merasa belum ngaturi kontribusi apa-apa je, hehehe."
.
Memang demikian adanya. Seingat saya, kami baru sempat berjumpa 2 kali untuk berbincang dalam obrolan yang terlalu santai untuk disebut 'diskusi'. Saya telah menolak. Maka keterkejutan kedua adalah ketika betul nama saya muncul dalam kredit di antara nama besar Prof. Djoko Suryo dari UGM, KH. Agus Sunyoto dari Lesbumi NU, dan Pak Herman Sinung dari Muhammadiyah; dengan predikat yang agak 'awkward' pula, haha.
.
Jiannnn, Mas Hanung ki pancen tengil tenan.
.
Sebagai pengagum berat Sultan Agung, kehadiran film ini tentu menuangkan perasaan campur aduk ke dalam hati saya. Kecewa ya tentu ada. Lha wong di banyak bagian film harus menundukkan pandangan karena kostum para tokoh putri terlebih santriwati Padepokan Jejeran belum sesuai harapan, haha. Juga adegan-adegan masa remaja Raden Mas Rangsang dan gadis bernama Lembayung dari jalan mesra di pematang sawah hingga mandi di air terjun yang dijadikan sub alur utama cerita kan sesungguhnya tidak berdasar sejarah. Ia suatu romansa non-referensial yang tentu saya, Kyai Agus Sunyoto, Mas Herman Sinung, bahkan Prof. Djoko Suryo tidak bisa memberi nasehat apa-apa.
.
Di luar itu, banyak hal bisa diapreasi dari film ini. Di tengah kontroversi Surakarta-Yogyakarta sebagai sesama pewaris yang sukar diakurkan falsafah budayanya, Mas Hanung meramu dengan cukup apik kisah tokoh besar ini. Dimulai dari firasat Sunan Kalijaga, intrik dalam dinasti Panembahan Senapati, penyerbuan ke Batavia beserta dinamika dan nilai di baliknya, juga perubahan orientasi perjuangan, hingga pengakuan internasional pada kiprahnya, yang membuat Susuhunan Agung Hanyakrakusuma bergelar 'Sultan'. Ending film juga jadi sebuah hipotesis sejarah yang menantang para periset." ungkapnya.
.
Saya spontan menjawab, "Weh, lha punika, hehe. Mbokmenawi jangan, ampun rumiyin, Mas. Lha wong kula merasa belum ngaturi kontribusi apa-apa je, hehehe."
.
Memang demikian adanya. Seingat saya, kami baru sempat berjumpa 2 kali untuk berbincang dalam obrolan yang terlalu santai untuk disebut 'diskusi'. Saya telah menolak. Maka keterkejutan kedua adalah ketika betul nama saya muncul dalam kredit di antara nama besar Prof. Djoko Suryo dari UGM, KH. Agus Sunyoto dari Lesbumi NU, dan Pak Herman Sinung dari Muhammadiyah; dengan predikat yang agak 'awkward' pula, haha.
.
Jiannnn, Mas Hanung ki pancen tengil tenan.
.
Sebagai pengagum berat Sultan Agung, kehadiran film ini tentu menuangkan perasaan campur aduk ke dalam hati saya. Kecewa ya tentu ada. Lha wong di banyak bagian film harus menundukkan pandangan karena kostum para tokoh putri terlebih santriwati Padepokan Jejeran belum sesuai harapan, haha. Juga adegan-adegan masa remaja Raden Mas Rangsang dan gadis bernama Lembayung dari jalan mesra di pematang sawah hingga mandi di air terjun yang dijadikan sub alur utama cerita kan sesungguhnya tidak berdasar sejarah. Ia suatu romansa non-referensial yang tentu saya, Kyai Agus Sunyoto, Mas Herman Sinung, bahkan Prof. Djoko Suryo tidak bisa memberi nasehat apa-apa.
.
Di luar itu, banyak hal bisa diapreasi dari film ini. Di tengah kontroversi Surakarta-Yogyakarta sebagai sesama pewaris yang sukar diakurkan falsafah budayanya, Mas Hanung meramu dengan cukup apik kisah tokoh besar ini. Dimulai dari firasat Sunan Kalijaga, intrik dalam dinasti Panembahan Senapati, penyerbuan ke Batavia beserta dinamika dan nilai di baliknya, juga perubahan orientasi perjuangan, hingga pengakuan internasional pada kiprahnya, yang membuat Susuhunan Agung Hanyakrakusuma bergelar 'Sultan'. Ending film juga jadi sebuah hipotesis sejarah yang menantang para periset." ungkapnya.
Advertisement
EmoticonEmoticon