Ustaz Haikal Ingatkan Geger Cilegon 1888, Ada Kaitan dengan Larangan Azan?

- September 03, 2018
musabab
Pendakwah Ustaz Haikal Hassan mengingatkan soal peristiwa Perang Cilegon 1888. Namun ia menjelaskan untuk tidak mengaitkan dengan peristiwa pelarangan azan yang terjadi belakangan ini. 

"Siapa yg ingat sejarah perang Cilegon thn 1888?
Perang itu terjadi karena pribumi yg jadi antek penjajah Belanda melarang baca TAHRIM dg speaker menjelang subuh diMasjid. Jgn dihubung2kan kemana2 yaa.. Ane nulis sekedar dr penikmat sejarah.. Hehehe," kata dia melalui laman media sosial pada Senin (3/9/2018).

Dari laman wikipedia dijelaskan bahwa perlawanan yang dikobarkan Ki Wasyid bersama para tokoh Banten dalam Geger Cilegon dilatarbelakangi kesewenang-wenangan Belanda yang saat itu merupakan peralihan terhadap kependudukan Belanda di Banten. Kebencian masyarakat makin memuncak saat masyarakat tertekan dengan dua musibah yakni dampak meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (23 Agustus 1883) yang menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasauran, Tajur, dan Carita. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat menjadi-jadi.

Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah Belanda yang mengharuskan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit membuat warga makin terpukul. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).

Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden

Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkan menara musala di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu salat, mengganggu ketenangan ksrena suaranya yang keras apalagi waktu azan salat subuh.

Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara keras. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda berbaur dengan penderitaan rakyat.


Advertisement

2 komentar

avatar

Eh goblok, pengeras suara baru ada di masjid Indonesia tahun 1930.
Toa aja baru pertama kali diciptain tahun 1898

avatar

TAHRIM apa TARHIM ?
masa ustad gak tau bedanya apa


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search