Syaits Asyam punya angan-angan melanjutkan kuliah di Inggris. Sayang, mimpi itu terpenggal di lembah Mrutu, Dusun Tlogodringo, Desa Gondosuli, Kecamatan tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Yudho Priambodo.
19 tahun lalu, tepatnya tanggal tujuh bulan tujuh 1997, bayi laki-laki lahir dari rahim Sri Handayani. Syaits Asyam namanya. Makna yang dikandung nama itu kira-kira pemimpin berhati mulia. Asyam tumbuh normal dan pintar. Karya ilmiahnya sewaktu bersekolah di SMA Kesatuan Bangsa dengan judul Penyelamatan Lingkungan dari Limbah Laut mampu membawanya menyabet medali emas Olimpiade Kimia di Belanda beberapa tahun silam. Fotonya saat memenangi Olimpiade menjadi kebanggaan keluarga. Foto itu disimpan secara rapi di album. Asyam berpose di
samping Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi.
Berkat prestasinya, Asyam diundang ke Istana oleh Presiden Joko Widodo pada 2014. Sri, 47, kini hanya bisa mengenang kepintaran Asyam, juga harapan anak semata wayangnya yang tak mungkin kesampaian.
“Saya masih ingat betul cita-citanya untuk melanjutkan kuliah di Oxford,” ujar Sri di rumah duka di Desa Caturharjo, Kecamatan Sleman, Senin (23/1).
University of Oxford adalah salah satu perguruan tinggi tertua di Kota Oxford, Britania Raya. Reputasinya sudah mendunia. Tahun ini dalam website QS World University Rangking, University of Oxford menduduki peringkat enam dunia. Asyam, dengan modal kepandaian, tentu punya kesempatan untuk menuntaskan dambaannya. Apa daya, keinginan itu buyar di lembah Mrutu yang dinginnya menusuk tulang.
“Belum sampai cita-citanya terwujud, Asyam sudah menghadap Yang Maha Esa.”
Kelopak mata Sri masih sembap lantaran terlampau banyak mengeluarkan air mata. Wajahnya sayu. Daster berwarna oranye dengan corak bunga-bunga cerah yang dia kenakan kontras dengan kerudung hitam yang menutup rambut dan duka yang menggantung di parasnya.
Sri Handayani mencoba menata napas saat menceritakan kisah Asyam semasa masih hidup.
“Dia anak yang pintar, sejak Asyam lahir ada 16 butir-butir pribadi yang saya terapkan dalam kehidupan anak saya. Itu sampai sekarang di-print dan ditempel sama dia di kamarnya,” kata Sri.
Dia kemudian menunjukkan warisan Asyam yang ditempel di pintu lemari kamar. Secarik kertas berukuran HVS dengan tinta warna-warni. Kalimat pertama di kertas itu berbunyi Butir-butir pribadi Asyam. Di bawahnya, satu kata dengan alfabet besar semua dan tanda seru. HARUS!!!
“Disiplin, Jujur, Tertib, Teliti, Bersih, Rajin, Taqwa, Punya cita-cita, Rapi, Bisa Dipercaya, Ramah, Suka menolong, Beriman, Kerja keras, Ikhlas, Tawakal,” ujar Sri membacakan prinsip hidup mendiang anaknya yang ditulis di kertas itu.
Sri juga memperlihatkan tiga medali milik Asyam yang didapat saat memenangi berbagai kejuaraan, salah satunya saat Asyam menang lomba riset di Belanda. Ketiga medali itu digantung di tembok kamar.
“Itu pengharum ruangan yang saya pasang di kipas angin. Sengaja saya beli supaya kamar Asyam wangi begitu dia pulang. Dia belum sempat mencium bau kamarnya yang sekarang wangi,” kata Sri.
Matanya kembali berair. Suaranya semakin pelan dan terbata-bata. Sri mengingat dekapan anaknya sebelum pergi ke lembah Mrutu di kaki Gunung Lawu untuk mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) Mapala Unisi. Kala itu anaknya mengenakan jaket hoodie warna abu-abu.
“Saya tidak menyangka pelukan dan permintaan maaf sebelum dia berangkat diksar itu adalah pelukan terakhir,” kata Sri.
Dekapan Terakhir
Dekapan terakhir itu bisa saja dia lewatkan. Asyam meninggalkan rumah pada Sabtu (14/1) pagi. Sudah berhari-hari Asyam tidak pulang karena kelewat sibuk di kampus. Jumat (13/1) pagi, Asyam mengirim pesan kepada ibunya melalui ponsel. Dia akan pulang untuk berpamitan kepada ibunya yang tinggal di rumah sendirian karena bapak Asyam, Abdullah, bekerja di Samarinda. Asyam urung pulang. Sri menduga anaknya tak bisa meninggalkan kegiatan di kampus.
Semasa SMA, Asyam gemar meneliti alam. Ketika kuliah di Teknik Industri Universitas Islam Indonesia, Asyam bergabung dengan kelompok Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Unisi.
“Baru pertama ini saya lihat dia mengikuti kegiatan pecinta alam. Namun anak ini memang sangat peduli dengan lingkungan. Jadi saya juga tidak heran,” ujar Sri.
Energi Asyam memang berlebih.
“Dari pagi sampai pagi selalu berkegiatan itulah kenapa saya juluki dia Pak Menteri Super Sibuk,” ujar Sri.
Sabtu pagi, kira-kira pukul 09.00 WIB, Asyam pulang juga. Dia mengambil sepatu yang tertinggal, sekaligus pamit secara langsung kepada sang ibunda untuk pergi ke lembah Mrutu. Asyam hanya sekitar satu jam berada di rumah. Ibu dan anak itu kemudian bercakap-cakap barang sebentar dan sang anak menceritakan kegiatan yang akan dia ikuti sebelum pergi meninggalkan rumah.
“Kalau sepatunya tidak tertinggal mungkin saya pelukan dari Asyam tidak akan saya dapat,” ujar Sri.
Semuanya berjalan baik-baik saja bagi Sri hingga kabar mengejutkan itu datang pada Jumat (20/1), sekitar satu jam menjelang tengah malam. Sri ditelepon salah satu panitia Diksar Mapala UII yang mengabarkan anaknya berada di Rumah Sakit Bethesda. Setengah jam menjelang tengah malam, Sri sampai di rumah sakit.
“Pertama saya masuk ruangan saya langsung menangis melihat kondisi anak saya. Saat itu bahkan dokter berkata kondisi Asyam sudah sangat parah. Dokter bilang Asyam susah bernapas, tetapi berpesan kepada saya untuk memanfaatkan waktu mengajak komunikasi Asyam,” kata Sri.
Asyam kemudian meminta selembar kertas dan sebatang pulpen. Di kertas tersebut Asyam menuliskan beberapa kejadian yang dia alami saat diksar.
“Dia menulis kalau punggungnya dipukuli pakai rotan sebanyak sepuluh kali oleh senior bernama Yudhi, dia juga mengeluh karena lehernya sangat sakit setelah disuruh membawa air memakai ember yang digantung di leher. Dia juga dipukul punggungnya, juga diinjak,” jelas Sri.
Sri kemudian melihat pemandangan yang seolah-olah menaburkan garam di luka batinnya. Tangan anaknya penuh dengan luka goresan. Sri menanyakan apa yang menimpa anak tersayangnya.
“Dia hanya berkata pohon berduri, entah maksudnya apa. Lalu saya suruh dia menyudahi ceritanya karena saya tidak tega melihat kondisinya. Dia juga harus minum obat saat itu,” kata dia.
Dengan kemampuan bicaranya yang terbatas, Asyam masih sempat meminta maaf kepada ibunya.
“Tangan saya diciumi terus sama Asyam. Saya antar dia saat sakaratul maut, dia minta diputar [posisi tubuhnya] ingin menghadap ke saya. Asyam terlihat siap untuk menghadap Yang Kuasa. Saya ikhlas,” ujar Sri. [Paramuda/BersamaDakwah]
19 tahun lalu, tepatnya tanggal tujuh bulan tujuh 1997, bayi laki-laki lahir dari rahim Sri Handayani. Syaits Asyam namanya. Makna yang dikandung nama itu kira-kira pemimpin berhati mulia. Asyam tumbuh normal dan pintar. Karya ilmiahnya sewaktu bersekolah di SMA Kesatuan Bangsa dengan judul Penyelamatan Lingkungan dari Limbah Laut mampu membawanya menyabet medali emas Olimpiade Kimia di Belanda beberapa tahun silam. Fotonya saat memenangi Olimpiade menjadi kebanggaan keluarga. Foto itu disimpan secara rapi di album. Asyam berpose di
samping Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi.
Berkat prestasinya, Asyam diundang ke Istana oleh Presiden Joko Widodo pada 2014. Sri, 47, kini hanya bisa mengenang kepintaran Asyam, juga harapan anak semata wayangnya yang tak mungkin kesampaian.
“Saya masih ingat betul cita-citanya untuk melanjutkan kuliah di Oxford,” ujar Sri di rumah duka di Desa Caturharjo, Kecamatan Sleman, Senin (23/1).
University of Oxford adalah salah satu perguruan tinggi tertua di Kota Oxford, Britania Raya. Reputasinya sudah mendunia. Tahun ini dalam website QS World University Rangking, University of Oxford menduduki peringkat enam dunia. Asyam, dengan modal kepandaian, tentu punya kesempatan untuk menuntaskan dambaannya. Apa daya, keinginan itu buyar di lembah Mrutu yang dinginnya menusuk tulang.
“Belum sampai cita-citanya terwujud, Asyam sudah menghadap Yang Maha Esa.”
Kelopak mata Sri masih sembap lantaran terlampau banyak mengeluarkan air mata. Wajahnya sayu. Daster berwarna oranye dengan corak bunga-bunga cerah yang dia kenakan kontras dengan kerudung hitam yang menutup rambut dan duka yang menggantung di parasnya.
Sri Handayani mencoba menata napas saat menceritakan kisah Asyam semasa masih hidup.
“Dia anak yang pintar, sejak Asyam lahir ada 16 butir-butir pribadi yang saya terapkan dalam kehidupan anak saya. Itu sampai sekarang di-print dan ditempel sama dia di kamarnya,” kata Sri.
Dia kemudian menunjukkan warisan Asyam yang ditempel di pintu lemari kamar. Secarik kertas berukuran HVS dengan tinta warna-warni. Kalimat pertama di kertas itu berbunyi Butir-butir pribadi Asyam. Di bawahnya, satu kata dengan alfabet besar semua dan tanda seru. HARUS!!!
“Disiplin, Jujur, Tertib, Teliti, Bersih, Rajin, Taqwa, Punya cita-cita, Rapi, Bisa Dipercaya, Ramah, Suka menolong, Beriman, Kerja keras, Ikhlas, Tawakal,” ujar Sri membacakan prinsip hidup mendiang anaknya yang ditulis di kertas itu.
Sri juga memperlihatkan tiga medali milik Asyam yang didapat saat memenangi berbagai kejuaraan, salah satunya saat Asyam menang lomba riset di Belanda. Ketiga medali itu digantung di tembok kamar.
“Itu pengharum ruangan yang saya pasang di kipas angin. Sengaja saya beli supaya kamar Asyam wangi begitu dia pulang. Dia belum sempat mencium bau kamarnya yang sekarang wangi,” kata Sri.
Matanya kembali berair. Suaranya semakin pelan dan terbata-bata. Sri mengingat dekapan anaknya sebelum pergi ke lembah Mrutu di kaki Gunung Lawu untuk mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) Mapala Unisi. Kala itu anaknya mengenakan jaket hoodie warna abu-abu.
“Saya tidak menyangka pelukan dan permintaan maaf sebelum dia berangkat diksar itu adalah pelukan terakhir,” kata Sri.
Dekapan Terakhir
Dekapan terakhir itu bisa saja dia lewatkan. Asyam meninggalkan rumah pada Sabtu (14/1) pagi. Sudah berhari-hari Asyam tidak pulang karena kelewat sibuk di kampus. Jumat (13/1) pagi, Asyam mengirim pesan kepada ibunya melalui ponsel. Dia akan pulang untuk berpamitan kepada ibunya yang tinggal di rumah sendirian karena bapak Asyam, Abdullah, bekerja di Samarinda. Asyam urung pulang. Sri menduga anaknya tak bisa meninggalkan kegiatan di kampus.
Semasa SMA, Asyam gemar meneliti alam. Ketika kuliah di Teknik Industri Universitas Islam Indonesia, Asyam bergabung dengan kelompok Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Unisi.
“Baru pertama ini saya lihat dia mengikuti kegiatan pecinta alam. Namun anak ini memang sangat peduli dengan lingkungan. Jadi saya juga tidak heran,” ujar Sri.
Energi Asyam memang berlebih.
“Dari pagi sampai pagi selalu berkegiatan itulah kenapa saya juluki dia Pak Menteri Super Sibuk,” ujar Sri.
Sabtu pagi, kira-kira pukul 09.00 WIB, Asyam pulang juga. Dia mengambil sepatu yang tertinggal, sekaligus pamit secara langsung kepada sang ibunda untuk pergi ke lembah Mrutu. Asyam hanya sekitar satu jam berada di rumah. Ibu dan anak itu kemudian bercakap-cakap barang sebentar dan sang anak menceritakan kegiatan yang akan dia ikuti sebelum pergi meninggalkan rumah.
“Kalau sepatunya tidak tertinggal mungkin saya pelukan dari Asyam tidak akan saya dapat,” ujar Sri.
Semuanya berjalan baik-baik saja bagi Sri hingga kabar mengejutkan itu datang pada Jumat (20/1), sekitar satu jam menjelang tengah malam. Sri ditelepon salah satu panitia Diksar Mapala UII yang mengabarkan anaknya berada di Rumah Sakit Bethesda. Setengah jam menjelang tengah malam, Sri sampai di rumah sakit.
“Pertama saya masuk ruangan saya langsung menangis melihat kondisi anak saya. Saat itu bahkan dokter berkata kondisi Asyam sudah sangat parah. Dokter bilang Asyam susah bernapas, tetapi berpesan kepada saya untuk memanfaatkan waktu mengajak komunikasi Asyam,” kata Sri.
Asyam kemudian meminta selembar kertas dan sebatang pulpen. Di kertas tersebut Asyam menuliskan beberapa kejadian yang dia alami saat diksar.
“Dia menulis kalau punggungnya dipukuli pakai rotan sebanyak sepuluh kali oleh senior bernama Yudhi, dia juga mengeluh karena lehernya sangat sakit setelah disuruh membawa air memakai ember yang digantung di leher. Dia juga dipukul punggungnya, juga diinjak,” jelas Sri.
Sri kemudian melihat pemandangan yang seolah-olah menaburkan garam di luka batinnya. Tangan anaknya penuh dengan luka goresan. Sri menanyakan apa yang menimpa anak tersayangnya.
“Dia hanya berkata pohon berduri, entah maksudnya apa. Lalu saya suruh dia menyudahi ceritanya karena saya tidak tega melihat kondisinya. Dia juga harus minum obat saat itu,” kata dia.
Dengan kemampuan bicaranya yang terbatas, Asyam masih sempat meminta maaf kepada ibunya.
“Tangan saya diciumi terus sama Asyam. Saya antar dia saat sakaratul maut, dia minta diputar [posisi tubuhnya] ingin menghadap ke saya. Asyam terlihat siap untuk menghadap Yang Kuasa. Saya ikhlas,” ujar Sri. [Paramuda/BersamaDakwah]
Advertisement
EmoticonEmoticon