Mantan Tim sukses Jokowi di masa pemilihan presiden, Narliswandi Piliang atau yang akrab disapa Iwan Piliang mengaku punya kesaksian khusus tentang imam besar Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab yang belakangan menjadi bahan bidikan media arus utama.
"Di antara pertanyaan saya kepada sosok ditabalkan Imam Besar Umat Islam Indonesia secara non mainstream ini, soal tanah pesantrennya. Kini sudah 33 hektar, beberapa sudut ditanami aneka sayur, termasuk tomat dan cabe. Ia diisukan menyerobot tanah Perhutani. Saya baca di berita, kemarin Perhutani sudah membantah, kejelasannya tunggulah tulisan panjang saya," kata Iwan.
Berikut catatan lengkap Iwan tentang "Habib Rizieq Menghormati Ibu"
***
Di atas pintu ruang bersegi delapan seukuran dua kali meja pingpong, sosok ini menempatkan foto Almarhumah Ibunya. Foto itu berhadapan dengan posisi duduk. Bila hendak ke luar ruangan, barulah kodak sang ibu tampak.
Di ruang beralas ambal dikelilingi deretan buku, kitab, itu ia acap menerima tamu. Mendung menggantung, kabut menyaput ditingkahi sesekali hujan rintik, terkadang deras. Angin menyapa pepohonan hijau melambai di sekitar. Minggu siang penghujung Januari 2017, bakda Zuhur, di kawasan pesantrennya, Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat, saya bertemu dengan Habib Rizieq, setelah sekian lama diatur melalui kerabat Kamil Smile , juragan kayu dari Bondowoso, Jawa Timur. Momen pertemuan berselisih waktu terus. Baru kemarin itu berjumpa empat mata.
Jalan menuju kawasan melalui hutan di PTPN VIII. Untuk melewatinya saya sarankan menggunakan mobil sekelas Kijang, SUV, becek dan lumpur mewarnai. Kemarin itu, ada titik longsoran dari atas bukit membelah jalan. Kayu melintang sudah dipotong, tak jauh pohon dengan batang dua pagutan orang dewasa tampak kokoh menengadah langit.
Di antara pertanyaan saya kepada sosok ditabalkan Imam Besar Umat Islam Indonesia secara non mainstream ini, soal tanah pesantrennya. Kini sudah 33 hektar, beberapa sudut ditanami aneka sayur, termasuk tomat dan cabe. Ia diisukan menyerobot tanah Perhutani. Saya baca di berita, kemarin Perhutani sudah membantah, kejelasannya tunggulah tulisan panjang saya.
Terbaru diisukan pula ada video selingkuhan, dan entah apalagi. Soal dunia digital, ranah visual, saya katakan kepada Habib, kebenarannya gampang, forensik digital saja, ketahuan itu hoax dan tidak.
Inti soal ranah penegak hukum. Di dalam jurnalisme ada code of conduct, di dalam penegakan hukum juga demikian, dalam berdakwah apalagi, ada perjalanan studi dilewati, maka beragam kitab harus dibaca, ada jurusan ilmu seperti Ushuludin dan seterusnya. Ibarat mengaji ada tajwid untuk membaca ada nahu untuk menterjemah Al Quran, ada pertanggung-jawaban kepada core competence. Di luar itu semua, ada ruh lahiriah dan bataniah; hati nurani, akal, budi. Nah sampai kepada hati nurani dan akal budi ini, out putnya bisa dirasakan.
Sama halnya mendengar khutbah ustad berbekal hal di atas atau tidak, out put-nya dirasakan, nyata. Begitu juga produk penegakan hukum, orang kebanyakan merasakan mana keadilan mana kebatilan.
Dulu acap di televisi saya katakan petani di gunung-gunung, nelayan di pantai-pantai memiliki kecerdasan hati. Atas kalimat saya ini pula agaknya, banyak orang biasa, acap menyapa di bandara-bandara, bahkan minta berfoto bak Jokowi dulu di Solo, ya dulu di Solo.
Kemarin itu ada pula rombongan jawara, para pesilat Betawi hebat, ingin berjumpa Habib. Saya baru tahu lebih dari 300 aliran silat Betawi. Saya menjadi teringat semasa mengaji di kampung dulu. Mengaji dan silat sulit dipisahkan. Para jawara mengatakan karena momen 411, 212, yang lalu, seluruh jawara kini bersatu padu, mengawal ulama. "Dulu sulit bersatu, karena satu dan lainnya merasa lebih sakti," kata salah satu Jawara dari padepokan Beksi. Kini mereka tawaduk, ingin dikomandoi di bawah ulama, di bawah pimpinan Habib Rizieq demi NKRI.
Entah mengapa keulamaan kini seakan mengusik ranah birokrasi. Oknum pejabat dan partai politik seakan menempatkan mereka musuh, padahal penyampaian khutbah seperti 212, di mana saya ikut hadir di saf pertama di depan panggung, kontennya sudah sama-sama kita simak.
Apakah ada kecemburuan dari non Muslim? Tentu tidak. Yang saya pahami bila agama seseorang itu benar, pasti tak saling membenci, pasti tak menyebar fitnah kepada umat lain. Bila dalam Islam hal ini jernih dan jelas, agamamu agamamu, dan kitab Al Quran pun clear, kita diciptakan beragam, termasuk beragama, untuk saling mengenal dan agar berakal, ya berakal, ya berbudi. Bukan untuk membenci, apalagi memusuhi. Sejarah peradaban kenusantaraan, toleransi Umat Muslim tercatat dalam tinta emas peradaban. Entah siapa kini ingin mencorengnya?
Dalam nada pertanyaan itu saya teringat, kemarin di antara pertemuan, Habib Rizieq menyempatkan berdakwah via telepon live ke Lombok, NTB. Rupanya di Bumi Gora itu, ratusan ribu umat telah menanti kehadirannya. Dari suara via telepon itu, seluruh pesan Habib; tentang kemuliaan hidup, menjaga ulama di jalan yang benar. [Paramuda/BersamaDakwah]
"Di antara pertanyaan saya kepada sosok ditabalkan Imam Besar Umat Islam Indonesia secara non mainstream ini, soal tanah pesantrennya. Kini sudah 33 hektar, beberapa sudut ditanami aneka sayur, termasuk tomat dan cabe. Ia diisukan menyerobot tanah Perhutani. Saya baca di berita, kemarin Perhutani sudah membantah, kejelasannya tunggulah tulisan panjang saya," kata Iwan.
Berikut catatan lengkap Iwan tentang "Habib Rizieq Menghormati Ibu"
***
Di atas pintu ruang bersegi delapan seukuran dua kali meja pingpong, sosok ini menempatkan foto Almarhumah Ibunya. Foto itu berhadapan dengan posisi duduk. Bila hendak ke luar ruangan, barulah kodak sang ibu tampak.
Di ruang beralas ambal dikelilingi deretan buku, kitab, itu ia acap menerima tamu. Mendung menggantung, kabut menyaput ditingkahi sesekali hujan rintik, terkadang deras. Angin menyapa pepohonan hijau melambai di sekitar. Minggu siang penghujung Januari 2017, bakda Zuhur, di kawasan pesantrennya, Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat, saya bertemu dengan Habib Rizieq, setelah sekian lama diatur melalui kerabat Kamil Smile , juragan kayu dari Bondowoso, Jawa Timur. Momen pertemuan berselisih waktu terus. Baru kemarin itu berjumpa empat mata.
Jalan menuju kawasan melalui hutan di PTPN VIII. Untuk melewatinya saya sarankan menggunakan mobil sekelas Kijang, SUV, becek dan lumpur mewarnai. Kemarin itu, ada titik longsoran dari atas bukit membelah jalan. Kayu melintang sudah dipotong, tak jauh pohon dengan batang dua pagutan orang dewasa tampak kokoh menengadah langit.
Di antara pertanyaan saya kepada sosok ditabalkan Imam Besar Umat Islam Indonesia secara non mainstream ini, soal tanah pesantrennya. Kini sudah 33 hektar, beberapa sudut ditanami aneka sayur, termasuk tomat dan cabe. Ia diisukan menyerobot tanah Perhutani. Saya baca di berita, kemarin Perhutani sudah membantah, kejelasannya tunggulah tulisan panjang saya.
Terbaru diisukan pula ada video selingkuhan, dan entah apalagi. Soal dunia digital, ranah visual, saya katakan kepada Habib, kebenarannya gampang, forensik digital saja, ketahuan itu hoax dan tidak.
Inti soal ranah penegak hukum. Di dalam jurnalisme ada code of conduct, di dalam penegakan hukum juga demikian, dalam berdakwah apalagi, ada perjalanan studi dilewati, maka beragam kitab harus dibaca, ada jurusan ilmu seperti Ushuludin dan seterusnya. Ibarat mengaji ada tajwid untuk membaca ada nahu untuk menterjemah Al Quran, ada pertanggung-jawaban kepada core competence. Di luar itu semua, ada ruh lahiriah dan bataniah; hati nurani, akal, budi. Nah sampai kepada hati nurani dan akal budi ini, out putnya bisa dirasakan.
Sama halnya mendengar khutbah ustad berbekal hal di atas atau tidak, out put-nya dirasakan, nyata. Begitu juga produk penegakan hukum, orang kebanyakan merasakan mana keadilan mana kebatilan.
Dulu acap di televisi saya katakan petani di gunung-gunung, nelayan di pantai-pantai memiliki kecerdasan hati. Atas kalimat saya ini pula agaknya, banyak orang biasa, acap menyapa di bandara-bandara, bahkan minta berfoto bak Jokowi dulu di Solo, ya dulu di Solo.
Kemarin itu ada pula rombongan jawara, para pesilat Betawi hebat, ingin berjumpa Habib. Saya baru tahu lebih dari 300 aliran silat Betawi. Saya menjadi teringat semasa mengaji di kampung dulu. Mengaji dan silat sulit dipisahkan. Para jawara mengatakan karena momen 411, 212, yang lalu, seluruh jawara kini bersatu padu, mengawal ulama. "Dulu sulit bersatu, karena satu dan lainnya merasa lebih sakti," kata salah satu Jawara dari padepokan Beksi. Kini mereka tawaduk, ingin dikomandoi di bawah ulama, di bawah pimpinan Habib Rizieq demi NKRI.
Entah mengapa keulamaan kini seakan mengusik ranah birokrasi. Oknum pejabat dan partai politik seakan menempatkan mereka musuh, padahal penyampaian khutbah seperti 212, di mana saya ikut hadir di saf pertama di depan panggung, kontennya sudah sama-sama kita simak.
Apakah ada kecemburuan dari non Muslim? Tentu tidak. Yang saya pahami bila agama seseorang itu benar, pasti tak saling membenci, pasti tak menyebar fitnah kepada umat lain. Bila dalam Islam hal ini jernih dan jelas, agamamu agamamu, dan kitab Al Quran pun clear, kita diciptakan beragam, termasuk beragama, untuk saling mengenal dan agar berakal, ya berakal, ya berbudi. Bukan untuk membenci, apalagi memusuhi. Sejarah peradaban kenusantaraan, toleransi Umat Muslim tercatat dalam tinta emas peradaban. Entah siapa kini ingin mencorengnya?
Dalam nada pertanyaan itu saya teringat, kemarin di antara pertemuan, Habib Rizieq menyempatkan berdakwah via telepon live ke Lombok, NTB. Rupanya di Bumi Gora itu, ratusan ribu umat telah menanti kehadirannya. Dari suara via telepon itu, seluruh pesan Habib; tentang kemuliaan hidup, menjaga ulama di jalan yang benar. [Paramuda/BersamaDakwah]
Advertisement
EmoticonEmoticon